Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Koran Pagi Edisi Jumat 30 April 2010

| Kompas | Jumat, 30 April 2010 |
50 Tahun RI Jepang

| Media Indonesia | Jumat, 30 April 2010 |

EDITORIAL
Hukum tanpa Keteladanan
PERDEBATAN tentang pilihan tempat pemeriksaan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani kehilangan relevansi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya tetap memilih mendatangi terperiksa ketimbang memanggil dua pejabat negara itu datang ke Kantor KPK. Dan itu telah terjadi, kemarin.

Karena harus memeriksa dua terperiksa pada hari yang sama di tempat yang berbeda, KPK harus membentuk dua tim pemeriksa. Satu tim memeriksa Sri Mulyani di Departemen Keuangan. Pemeriksaan pun berlangsung relatif singkat. Cuma 2 jam.

Tim yang satu lagi dipingpong. Mereka, sesuai janji, datang ke kantor Boediono. Tetapi beberapa saat setelah tiba di Kantor Wapres, tim pemeriksa KPK ditelepon agar datang ke Wisma Negara karena Boediono sedang rapat dengan Presiden.

Perdebatan tentang memanggil atau mendatangi terperiksa terpecah ke dalam dua arus logika. Logika legal formal tidak mempersoalkan tempat pemeriksaan sejauh yang diperiksa belum berstatus tersangka. Logika itu muncul karena, menurut mereka, undang-undang tidak menyebut satu kata pun tentang keharusan terperiksa atau tercuriga harus dipanggil ke Kantor KPK. Bagi kelompok ini, substansi yang hendak diperiksa jauh lebih penting daripada lokasi pemeriksaan.

Kelompok kedua adalah mereka yang mendasari pemikiran pada asas equality before the law. Yaitu tidak ada perbedaan siapa pun di muka hukum karena status atau jabatan. Hukum yang baik adalah hukum yang impersonal. Traffic light yang benar adalah yang menyala merah atau hijau tidak peduli siapa yang harus berhenti atau jalan.

Arus pemikiran ini, yaitu yang menghendaki Boediono dan Sri Mulyani diperiksa di KPK seperti halnya pejabat-pejabat lain, adalah mereka yang sadar bahwa kewibawaan hukum, termasuk kewibawaan KPK yang amat dijunjung tinggi dan belakangan mulai surut, harus dipertahankan atau dihidupkan kembali.

Memeriksa Boediono yang wapres dan Sri Mulyani yang menteri keuangan di Kantor KPK, apa pun statusnya, adalah sebuah keberanian sekaligus keteladanan untuk memperlihatkan bahwa KPK menganut betul asas persamaan di depan hukum.

Itu sesungguhnya salah satu misi suci dan agung dari kehadiran KPK. Yaitu memperlihatkan dan menegakkan kembali supremasi hukum yang di Indonesia telah ditenggelamkan berbagai kepentingan uang dan kekuasaan. Tetapi dibenarkan rezim pemikiran legal formal yang kehilangan aspek etik dan kejujuran.

Kalau pilihan tempat memeriksa adalah wilayah diskresi KPK, pertanyaannya mengapa KPK lebih memilih mendatangi daripada memanggil? Padahal untuk beberapa bupati di luar Pulau Jawa, termasuk Bupati Boven Digul yang belum berstatus tersangka, KPK memanggil mereka ke Jakarta untuk diperiksa di Kantor KPK. Mengapa untuk Boediono dan Sri Mulyani yang berada di Jakarta, KPK lebih memilih mendatangi daripada memanggil?

Lalu, untuk Sri Mulyani dan Boediono kita ingin menggugah, adakah keinginan untuk menjadi teladan dalam kepatuhan hukum yang impersonal? Adakah kerendahan hati dan ketulusan untuk memperlihatkan kepada publik bahwa di mata hukum kita semua sama? Tidak ada kerugian bila Anda berdua melakukan itu. Publik akan hormat bila keteladanan itu ditempuh.

PAUSE: Curhat dengan Binatang Peliharaan
BILA memiliki binatang peliharaan dan sering berbicara dengannya, Anda jangan buru-buru menganggap diri aneh.

Ternyata satu dari 10 orang yang memiliki hewan peliharaan di AS pernah berkeluh kesah dengan binatang kesayangan mereka. Itu terungkap dalam survei terhadap 1.112 pemilik hewan peliharaan yang diadakan The Associated Press dan situs Petside.com.

Sepertiga dari responden perempuan menikah dan 18% dari pria beristri menganggap hewan peliharaan mereka sebagai pendengar yang baik. Bahkan dianggap lebih enak diajak curhat ketimbang pasangan mereka. Kebanyakan responden cenderung curhat dengan anjing ketimbang kucing.

Survei itu juga menemukan hanya 5% dari responden mengaku membawa binatang kesayangannya ke dokter atau psikolog hewan jika peliharaan mereka terlihat stres. "Binatang peliharaan memang hebat karena ia memberi dukungan tak bersyarat. Mereka tidak pernah membalas omongan kita, tidak memberi pendapat keliru, dan selalu ada untuk kita," ungkap psikolog hewan dr Karen Sueda, di Los Angeles. (EP/HealthDay News/X-9)

| Koran Tempo | Jumat, 30 April 2010 |

| Seputar Indonesia | Jumat, 30 April 2010 |


| Surya | Jumat, 30 April 2010 |


| Radar Jogja | Jumat, 30 April 2010 |


| Sriwijaya Post | Jumat, 30 April 2010 |


| Pontianak Post | Jumat, 30 April 2010 |


| Tribun Kaltim | Jumat, 30 April 2010 |


| Bali Post | Jumat, 30 April 2010 |


| International Bali Post | Jumat, 30 April 2010 |
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger