Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Koran Pagi Edisi Kamis 16 Juni 2011

Wilujeng enjing....

===Koran Tempo===
Koran Tempo, Kamis, 16 Juni 2011
EDITORIAL: Pilihan bagi Jenderal Adang
Sikap kurang bijak diperlihatkan oleh Komisaris Jenderal Purn. Adang Daradjatun. Mantan Wakil Kepala Kepolisian RI ini terkesan melindungi istrinya, Nunun Nurbaetie. Ia tetap tak mau membantu penegak hukum hingga sang istri dinyatakan sebagai buron internasional.
     Telah lama Nunun diincar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kesaksian sang tersangka juga ditunggu untuk membongkar tuntas skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Miranda Goeltom pada 2004. Semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dituduh menerima suap telah diadili. Tapi hingga sekarang penyuapnya belum dijerat.
     Boleh saja Adang berdalih bahwa bukti keterlibatan istrinya--selama ini dituduh berperan dalam pembagian cek suap ke para politikus--kurang kuat. Saksi yang mengungkap peran sang tersangka pun dianggap minim. Tapi pernyataan ini justru melemahkan alasan melindungi Nunun. Jika sang istri tak bersalah, seharusnya pula ia tak perlu takut pulang ke negeri ini untuk menghadapi pengadilan.
     Sejumlah pihak, termasuk koleganya di Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR, menganggap wajar sikap Adang. Mereka juga berpendapat sang suami tidak bisa dipersalahkan, apalagi dipidana, gara-gara tindakannya. Dasarnya adalah Pasal 221 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam pasal ini, keluarga, termasuk suami-istri, dikecualikan dari pemidanaan karena melindungi anggota keluarganya dari penyidikan.
     Harus diakui, aturan itu amat manusiawi. Tidak selayaknya hak seseorang untuk melindungi keluarganya dirampas, bahkan diancam pidana. Namun, belakangan, semakin banyak ahli hukum yang berpendapat hak ini bisa diabaikan demi kepentingan negara yang lebih besar.
     Itu sebabnya, Undang-Undang tentang Pemberantasan Terorisme juga mengesampingkan hak tersebut. Siapa pun yang merintangi pemberantasan kejahatan kemanusiaan ini, termasuk anggota keluarga tersangka teroris, terancam pidana. Tak hanya tertera dalam undang-undang, aturan ini bahkan sudah digunakan oleh penegak hukum.
     Undang-Undang Pemberantasan Korupsi pun menganut prinsip serupa. Korupsi telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa sehingga perlu upaya yang luar biasa pula untuk memeranginya. Maka, dalam Pasal 21 UU No. 31/1999 juga diatur ancaman pidana bagi siapa pun yang merintangi pemberantasan korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
     Ancaman itulah yang mesti dipertimbangkan oleh Jenderal Adang, sekalipun KPK belum berkeinginan menggunakan aturan tersebut. Lembaga ini masih berupaya memulangkan Nunun lewat berbagai bentuk kerja sama dengan negara lain, kendati tingkat keberhasilannya kecil. Apalagi jika sang tersangka bersembunyi di negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
     Upaya pemulangan Nunun akan lebih mudah bila Adang berubah sikap dan bersedia membujuk istrinya. Ketimbang menjadi buron dan tersangka seumur hidup, lebih baik sang istri pulang. Pilihan ini juga tak menyulitkan posisi Adang sebagai anggota Komisi Hukum DPR yang semestinya menyokong, bukannya cenderung merintangi, upaya penegakan hukum.
    Sikap kurang bijak diperlihatkan oleh Komisaris Jenderal Purn. Adang Daradjatun. Mantan Wakil Kepala Kepolisian RI ini terkesan melindungi istrinya, Nunun Nurbaetie. Ia tetap tak mau membantu penegak hukum hingga sang istri dinyatakan sebagai buron internasional.
    Telah lama Nunun diincar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kesaksian sang tersangka juga ditunggu untuk membongkar tuntas skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Miranda Goeltom pada 2004. Semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dituduh menerima suap telah diadili. Tapi hingga sekarang penyuapnya belum dijerat.
     Boleh saja Adang berdalih bahwa bukti keterlibatan istrinya--selama ini dituduh berperan dalam pembagian cek suap ke para politikus--kurang kuat. Saksi yang mengungkap peran sang tersangka pun dianggap minim. Tapi pernyataan ini justru melemahkan alasan melindungi Nunun. Jika sang istri tak bersalah, seharusnya pula ia tak perlu takut pulang ke negeri ini untuk menghadapi pengadilan.
     Sejumlah pihak, termasuk koleganya di Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR, menganggap wajar sikap Adang. Mereka juga berpendapat sang suami tidak bisa dipersalahkan, apalagi dipidana, gara-gara tindakannya. Dasarnya adalah Pasal 221 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam pasal ini, keluarga, termasuk suami-istri, dikecualikan dari pemidanaan karena melindungi anggota keluarganya dari penyidikan.
     Harus diakui, aturan itu amat manusiawi. Tidak selayaknya hak seseorang untuk melindungi keluarganya dirampas, bahkan diancam pidana. Namun, belakangan, semakin banyak ahli hukum yang berpendapat hak ini bisa diabaikan demi kepentingan negara yang lebih besar.
     Itu sebabnya, Undang-Undang tentang Pemberantasan Terorisme juga mengesampingkan hak tersebut. Siapa pun yang merintangi pemberantasan kejahatan kemanusiaan ini, termasuk anggota keluarga tersangka teroris, terancam pidana. Tak hanya tertera dalam undang-undang, aturan ini bahkan sudah digunakan oleh penegak hukum.
     Undang-Undang Pemberantasan Korupsi pun menganut prinsip serupa. Korupsi telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa sehingga perlu upaya yang luar biasa pula untuk memeranginya. Maka, dalam Pasal 21 UU No. 31/1999 juga diatur ancaman pidana bagi siapa pun yang merintangi pemberantasan korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
     Ancaman itulah yang mesti dipertimbangkan oleh Jenderal Adang, sekalipun KPK belum berkeinginan menggunakan aturan tersebut. Lembaga ini masih berupaya memulangkan Nunun lewat berbagai bentuk kerja sama dengan negara lain, kendati tingkat keberhasilannya kecil. Apalagi jika sang tersangka bersembunyi di negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
     Upaya pemulangan Nunun akan lebih mudah bila Adang berubah sikap dan bersedia membujuk istrinya. Ketimbang menjadi buron dan tersangka seumur hidup, lebih baik sang istri pulang. Pilihan ini juga tak menyulitkan posisi Adang sebagai anggota Komisi Hukum DPR yang semestinya menyokong, bukannya cenderung merintangi, upaya penegakan hukum.
     Sikap kurang bijak diperlihatkan oleh Komisaris Jenderal Purn. Adang Daradjatun. Mantan Wakil Kepala Kepolisian RI ini terkesan melindungi istrinya, Nunun Nurbaetie. Ia tetap tak mau membantu penegak hukum hingga sang istri dinyatakan sebagai buron internasional.
     Telah lama Nunun diincar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kesaksian sang tersangka juga ditunggu untuk membongkar tuntas skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Miranda Goeltom pada 2004. Semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dituduh menerima suap telah diadili. Tapi hingga sekarang penyuapnya belum dijerat.
     Boleh saja Adang berdalih bahwa bukti keterlibatan istrinya--selama ini dituduh berperan dalam pembagian cek suap ke para politikus--kurang kuat. Saksi yang mengungkap peran sang tersangka pun dianggap minim. Tapi pernyataan ini justru melemahkan alasan melindungi Nunun. Jika sang istri tak bersalah, seharusnya pula ia tak perlu takut pulang ke negeri ini untuk menghadapi pengadilan.
     Sejumlah pihak, termasuk koleganya di Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR, menganggap wajar sikap Adang. Mereka juga berpendapat sang suami tidak bisa dipersalahkan, apalagi dipidana, gara-gara tindakannya. Dasarnya adalah Pasal 221 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam pasal ini, keluarga, termasuk suami-istri, dikecualikan dari pemidanaan karena melindungi anggota keluarganya dari penyidikan.
     Harus diakui, aturan itu amat manusiawi. Tidak selayaknya hak seseorang untuk melindungi keluarganya dirampas, bahkan diancam pidana. Namun, belakangan, semakin banyak ahli hukum yang berpendapat hak ini bisa diabaikan demi kepentingan negara yang lebih besar.
     Itu sebabnya, Undang-Undang tentang Pemberantasan Terorisme juga mengesampingkan hak tersebut. Siapa pun yang merintangi pemberantasan kejahatan kemanusiaan ini, termasuk anggota keluarga tersangka teroris, terancam pidana. Tak hanya tertera dalam undang-undang, aturan ini bahkan sudah digunakan oleh penegak hukum.
     Undang-Undang Pemberantasan Korupsi pun menganut prinsip serupa. Korupsi telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa sehingga perlu upaya yang luar biasa pula untuk memeranginya. Maka, dalam Pasal 21 UU No. 31/1999 juga diatur ancaman pidana bagi siapa pun yang merintangi pemberantasan korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
     Ancaman itulah yang mesti dipertimbangkan oleh Jenderal Adang, sekalipun KPK belum berkeinginan menggunakan aturan tersebut. Lembaga ini masih berupaya memulangkan Nunun lewat berbagai bentuk kerja sama dengan negara lain, kendati tingkat keberhasilannya kecil. Apalagi jika sang tersangka bersembunyi di negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
     Upaya pemulangan Nunun akan lebih mudah bila Adang berubah sikap dan bersedia membujuk istrinya. Ketimbang menjadi buron dan tersangka seumur hidup, lebih baik sang istri pulang. Pilihan ini juga tak menyulitkan posisi Adang sebagai anggota Komisi Hukum DPR yang semestinya menyokong, bukannya cenderung merintangi, upaya penegakan hukum.

===Media Indonesia===
Media Indonesia, Kamis, 16 Juni 2011
EDITORIAL: Takluk Melawan Korupsi
ANALOGI korupsi di Indonesia saat ini mirip orang yang tengah menderita penyakit tumor ganas. Sel-selnya menyebar ke hampir seluruh tubuh.
     Dokter yang seharusnya menangani penyakit itu, yaitu kepolisian, kejaksaan, bahkan KPK sekalipun, bukan hanya tidak bersih, melainkan juga terkena tumor ganas. Itulah sebabnya, peringkat Indonesia sebagai negara terkorup pun tidak juga berubah.
     Survei terbaru yang dirilis awal pekan ini oleh World Justice Project mengafirmasi kenyataan itu. Hasil survei terhadap penegakan hukum di 66 negara di dunia menyebutkan bahwa praktik korupsi di Indonesia sudah sangat menyebar luas. Dari 66 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi ke-47 untuk ketiadaan korupsi dan akses untuk keadilan sipil. Bahkan, untuk level kawasan Asia Timur dan Pasifik, rangking ketiadaan korupsi di Indonesia masuk di urutan kedua dari paling buncit sebelum Kamboja.
     Untuk urusan bebas korupsi itu, Indonesia bahkan kalah jika dibandingkan dengan Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia.
     Padahal, peringkat Indonesia agak tinggi dalam hal kejelasan hukum. Itu berarti, aturan dan sistem pemberantasan dan pencegahan korupsi sudah gamblang, bahkan banyak. Hingga kini, setidaknya ada 10 undang-undang, 6 peraturan pemerintah, dan 6 instruksi presiden yang berhubungan dengan perang melawan korupsi.
    Bukan cuma itu, pemimpin tertinggi di Republik ini, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah berkali-kali mendeklarasikan menghunus pedang melawan korupsi. Presiden juga mengatakan akan berada di garda terdepan dalam perang besar melawan korupsi.
    Partai yang dibidani oleh Yudhoyono, Partai Demokrat, juga selalu berseru dan mengajak untuk mengatakan tidak kepada korupsi. Akan tetapi, rupa-rupa aturan dan seruan gagah itu majal, bahkan dalam beberapa kasus dimandulkan.
    Pengakuan Wakil Presiden Boediono bahwa Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tidak ada gaungnya, menegaskan bahwa pengurus negara tidak tahu lagi harus berbuat apa. Itu sekaligus tanda bahwa negara menyerah terhadap korupsi dan koruptor.
    Tidak mengherankan jika perilaku korup dan curang kian mendapatkan permakluman di negeri ini. Bukan cuma itu, mereka yang mengusahakan kejujuran seperti Siami dan Widodo, yang melaporkan kepada Wali Kota Surabaya bahwa guru memaksa anak mereka memberikan sontekan ujian nasional, malah dibenci, dikucilkan, dan diusir oleh warga kampungnya.
     Sebaliknya, puluhan koruptor melenggang bebas, mendapat remisi hukuman berkali-kali, bahkan difasilitasi kabur ke luar negeri.
     Selama perang melawan korupsi hanya topeng pembungkus wajah bopeng, selama pedang yang dihunus untuk membunuh korupsi merupakan pedang-pedangan, sampai kiamat pun predikat negara terkorup tidak akan beringsut dari negeri ini.
     Pada titik itulah, kita harus berkata selamat tinggal perang melawan korupsi.


PAUSE: Pria dan Kesehatan
SURVEI menunjukkan sekitar 70% pria lebih mementingkan kendaraan daripada kesehatannya. Mereka mengabaikan gejala penyakit dan tidak memeriksakan ke dokter selama enam bulan sampai satu tahun.
     Men's Health Network (MHN) bersama Abbott Laboratories menyurvei 501 pria berusia 45-50 tahun dan pasangan mereka untuk mengetahui seberapa besar pria menjaga kondisi kesehatan. "Saat usia 40 tahun, kondisi tubuh mulai berubah dan para pria selama bertahun-tahun mengabaikan kesehatan mereka," ujar Dr Harry Fisch, profesor urologi dari New York and Presbyterian Hospital/Weill Cornell Medical College.
     Hasil survei itu juga menyebutkan perempuan pun berperan dalam menjaga kesehatan pasangannya. Lebih dari 40% responden khawatir akan kesehatan pasangan dan 56% sangat mengkhawatirkan kondisi kesehatan pasangan ketimbang kondisi kesehatan mereka sendiri.
     Wakil Presiden MHN Scott Williams mengatakan sebagian besar perempuan lebih bertanggung jawab mengurus dan merawat kesehatan keluarga mereka jika dibandingkan dengan pria.(Medicmagic/*/X-5)

===Republika===
Republika, Kamis, 16 Juni 2011



===Seputar Indonesia===
Seputar Indonesia, 16 Juni 2011
TAJUK: Pertamina Harus Bersabar
Manajemen Pertamina sedikit boleh bernapas lega menyusul kenaikan harga elpiji 50 kg yang akan diberlakukan mulai akhir Juni tahun ini. Dengan kenaikan harga elpiji nonsubsidi tersebut, perusahaan pelat merah itu bisa menghalau kerugian sampai Rp2 triliun lebih.
     Pola kenaikan harga tersebut dilakukan secara bertahap dimulai dengan angka 10% hingga mencapai tahap keekonomian.Adapun harga keekonomian elpiji saat ini masih jauh dari harga jual resmi Pertamina. Meski demikian Pertamina masih punya beban untuk menaikkan harga elpiji ukuran 12 kg yang juga memberi kontribusi kerugian tidak kecil.
    Untuk masalah ini, Pertamina sudah mendapat lampu hijau dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN justru masih menahan diri.Namun,angin segar yang diembuskan dari DPR itu diwarnai beberapa catatan. Di antaranya harus dinaikkan secara bertahap tidak lebih dari 5% sehingga tidak menimbulkan disparitas harga yang tajam dengan harga elpiji 3 kg.
    Manajemen Pertamina ketika “curhat”dengan DPR pekan lalu memang sudah menelanjangi diri soal bisnis elpiji yang menahan laju roda perusahaan.Pada tahun lalu,BUMN migas kebanggaan negeri ini membukukan kerugian sebesar Rp3,24 triliun dari berjualan elpiji dan tahun ini kerugian diperkirakan bakal melonjak menjadi Rp4,7 triliun seiring naiknya harga elpiji di pasar internasional yang dipengaruhi kenaikan harga minyak mentah dunia.
    Data terbaru menunjukkan kerugian Pertamina pada kuartal pertama 2011 sudah tercatat Rp1 triliun. Kerugian Pertamina untuk penjualan elpiji, sebagaimana dipaparkan Vice President Corporate Communication Pertamina M Harun, sebesar Rp72.000 untuk satu tabung ukuran 12 kg. “Untuk elpiji 12 kg kita jual Rp5.850/kg, sedangkan harga pasarnya berada pada kisaran Rp12.000/kg.
    Jadi tiap kilo tekor sebesar Rp6.150.Pertamina menanggung Rp72.000 lebih untuk tabung ukuran 12 kg,” jelasnya. Masalahnya sampai kapan Pertamina harus menombok terus, padahal di sisi lain Pertamina dituntut memberikan laba yang terus meningkat. Menaikkan harga elpiji 12 kg memang sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah.
   Ada kekhawatiran masyarakat akan beralih menggunakan elpiji ukuran 3 kg yang mendapat subsidi khusus dari pemerintah.Saat ini,disparitas atau perbedaan harga elpiji 12 kg dengan 3 kg sudah signifikan, yakni sebesar Rp1.600/kg. Nah, kalau harga 12 kg didongkrak lagi, disparitas harganya bakal lebih dalam lagi.
    Dengan perbedaan harga sekarang saja sudah mengundang berbagai spekulasi di lapangan, termasuk memicu maraknya pengoplosan elpiji yang banyak “menyumbang” musibah kebakaran. Jadi,pemerintah diperhadapkan pada dua masalah yang pelik.
    Harga elpiji 12 kg ditahan Pertamina berteriak,sebaliknya harga dilepas program subsidi elpiji bakal kacau balau dan dampaknya anggaran negara bakal tergerus lagi untuk menambah subsidi elpiji.
    Selama ini,melalui program konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg pemerintah mengaku telah menghemat anggaran negara sebesar Rp6,7 triliun untuk periode Januari hingga April 2011. Dan,kalau dihitung sejak konversi diberlakukan pada 2007 hingga April 2011 penghematan anggaran sudah mencapai Rp33 triliun (unaudited).
    Persoalan harga elpiji nonsubsidi memang berbeda dengan masalah BBM bersubsidi yang dinilai tidak tepat sasaran.Namun keduanya “menyandera” pemerintah sehingga tidak bisa mengambil keputusan yang tepat. Seharusnya, kedua persoalan dasar yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
   Pemerintah harus bersikap tegas dengan mencari solusi yang tepat, termasuk terhadap Pertamina yang mempunyai tugas ganda sebagai public service obligation dan pencari uang negara untuk mendanai APBN.


Quote of the day:
Yang pertama dan terburuk dari semua penipuan adalah menipu diri sendiri.
-- Philip James Bailey (1816- 1902), pujangga asal Inggris


===Haluan===

===Riau Pos===

===Lampung Post===

===Sriwijaya Post===

===Pikiran Rakyat===
Pikiran Rakyat, Kamis, 16 Juni 2011




Radar Jogja


===Surya===

===Banjarmasin Post===

===Tribun Kaltim===

===Pontianak Post===

===Tribun Pontianak===

===Manado Post===

===Bali Post===

===International Bali Post===

===Kuwait Times===
The skies were clear for the total lunar eclipse, the first of 2011 and the longest in nearly 11 years.


Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger