Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Belajar dari Paolo Di Canio: Ketika Sportivitas Lebih Berharga daripada Sekadar Meraih Kemenangan

Piala Dunia di ambang mata. Perhelatan akbar para jago olah bola tersebut dipercaya akan menjadi pusat perhatian sebagian besar penduduk bumi. Kita tentu berharap akan menyaksikan adu kepiawaian, permainan kolektivitas yang indah, sekaligus perjuangan heroik para pemain di lapangan hijau. Di balik itu, kita pun tetap ingin menjadi saksi ihwal sejauh mana sikap sportivitas tetap dijunjung para pesepak bola tersebut. Kemenangan jelas akan diperjuangkan tiap kontestan sampai "titik darah penghabisan", tetapi sisi fair play harus pula tetap ditegakkan. Bagaimanapun sepak bola adalah bentuk kebudayaan manusia yang tetap harus manusiawi.

Saya cukup tergelitik ketika beberapa waktu lalu di layar kaca cukup gencar ditayangkan iklan sebuah produk ihwal perlunya mengedepankan sebuah sportivitas. Inilah cuplikan iklan tersebut yang diambil dari situs Youtube.com.



Iklan tersebut mau tidak mau telah mengingatkan saya pada sosok Paolo Di Canio, pesepak bola kelahiran Italia yang sempat membela klub West Ham satu dekake silam. Tindakannya di lapangan hijau pada 16 Desember 2000 sungguh telah menjadi buah bibir insan bola di seantero dunia. Bagaimana tidak, meskipun diakui kehebatannya dalam menggocek bola, Di Canio kadung dicap sebagai pemain "bengal" dan kontroversial. Karena itu, kelakuannya untuk tidak memanfaatkan kesempatan mencetak gol dan memberi kemenangan bagi klubnya ketika mengetahui kiper lawan terkapar, merupakan tindakan sportif yang cukup luar biasa.

Untuk menyegarkan ingatan pada peristiwa sepuluh tahun silam tersebut, saya muat kliping tulisan feature apik karya wartawan senior, Suryopratomo yang disiarkan harian Kompas, ihwal laku lajak Di Canio yang layak mendapat dua acungan jempol.

| Kliping | Kompas, Sabtu, 6 Januari 2001 | Halaman 8 |

Paolo Di Canio dan Sportivitas

PERBEDAAN antara seorang pahlawan dan seorang pecundang rupanya begitu tipis. Seseorang bisa dianggap menjadi “penjahat” karena perilakunya yang tidak pantas, tetapi ia bisa dianggap sebagai “pahlawan” karena tindakannya yang sangat terpuji.
Itulah yang terjadi pada diri penyerang West Ham United asal Italia, Paolo Di Canio. September 1988, ia menjadi musuh pecinta sepak bola Inggris. Tindakannya mendorong Wasit Paul Alcock hingga terjengkang hanya karena tidak puas dengan keputusan wasit yang mengkartu merah dirinya, membuat ia dikecam banyak pihak.
Bagi sepak bola Inggris, penghormatan terhadap wasit dan peraturan permainan merupakan hal utama. Hanya di Inggris, seorang pemain yang mencoba mendebat keputusan wasit, langsung diberi peringatan kartu kuning.
Di tengah sentimen antipemain asing yang muncul di Inggris, tindakan Di Canio seakan menjadi pembenaran bahwa sebaiknya Inggris berkonsentrasi kepada pemain dalam negeri. Pemain asing bukan hanya mematikan kesempatan pemain muda dalam negeri dan menyedot devisa, tetapi lebih parah lagi, mereka menularkan perilaku tidak pantas yang bisa meracuni pemain sepak bola Inggris.
Hanya Inggris yang memang mengembangkan apa yang disebut “sepak bola sopan” (gentlemanly football). Dalam kamus sepak bola Inggris, tidak dikenal cara berpura-pura jatuh untuk mendapatkan keuntungan bagi sebuah tim. Seorang pemain yang melakukan diving di kotak penalti, misalnya, bukan hanya akan dikecam pemain lawan, tetapi langsung dicemooh oleh penonton.
Atas tindakan Di Canio itu, Football Association atau Persatuan Sepak Bola Inggris tidak tanggung-tanggung menjatuhkan hukuman. Pemain asal Italia itu dilarang tampil 11 kali, sebuah hukuman larangan bermain yang belum pernah diterima pemain Inggris mana pun sepanjang sejarah.
Hukuman itu nyaris menamatkan masa depan Di Canio di Liga Inggris. Sheffield Wednesday yang membeli Di Canio dari Glasgow Celtics (Skotlandia) dengan harga 3 juta poundsterling, tidak merasa rugi untuk kemudian menjualnya ke West Ham dengan harga 1,75 juta poundsterling hanya empat bulan setelah insiden itu.

***

CITRA buruk tentang Di Canio berubah total tanggal 16 Desember 2000 lalu. Tindakan dia untuk tidak memanfaatkan kesempatan emas mencetak gol dan memberi kemenangan bagi klubnya West Ham, merupakan tindakan sportif yang jarang dilakukan.
Pada hari itu, West Ham memainkan pertandingan kompetisi liga melawan tuan rumah Everton di Goodison Park, Liverpool. Hingga 90 menit pertandingan, kedudukan masih sama kuat 1-1.
Di masa waktu tambahan (injury time), West Ham mendapat kesempatan melakukan serangan terakhir. Dari sayap kanan, penyerang West Ham Trevor sinclair lepas dari pengawalan pemain belakang Everton. Kiper Everton Paul Gerrard mencoba keluar untuk memotong gerakan Sinclair.
Sliding tackle yang dilakukan Gerrard di luar kotak penalti bukan hanya gagal, tetapi membuat dirinya berteriak kesakitan karena posisi jatuh yang tidak benar. Dalam posisi Gerrard yang terkapar di luar kotak penalti, Sinclair memberi umpan ke arah Paolo Di Canio yang berdiri bebas di mulut gawang Everton. Dua pemain belakang Everton ada di mulut gawang, namun jaraknya sekitar tujuh meter dari Di Canio.
Pemain West Ham itu dengan mudah sebenarnya bisa mengontrol umpan Sinclair dengan dada dan dengan kualitasnya diyakini Di Canio akan bisa membobol gawang Everton. Namun, di luar dugaan Di Canio tidak melakukan itu. Ia justru menangkap umpan Sinclair dengan tangan dan kemudian berlari ke arah Wasit Wilkes untuk meminta wasit menghentikan pertandingan karena kiper Everton cedera.

***

TINDAKAN Di Canio menjadi bahan pembicaraan bukan hanya di Inggris, tetapi juga di seluruh dunia. Banyak orang memuji Di Canio yang mendahulukan sportivitas daripada sekadar meraih kemenangan.
Tidak banyak pemain yang mau melakukan itu. Tiga tahun lalu (sekitar 1998, ed.), penyerang asal Liverpool, Robbie Fowler pernah membuang dengan sengaja kesempatan mencetak gol dari titik penalti, karena merasa keputusan wasit untuk menghukum kiper Arsenal David Seaman yang dianggap menjatuhkannya di kotak penalti, tidak tepat.
Namun, pemain terbaik dunia Zinedine Zidane memilih untuk memanfaatkan kesempatan penalti saat Perancis bertemu Portugal dalam semifinal Piala Eropa 2000.
“Saya tentu kecewa bahwa tim saya gagal meraih kemenangan yang sudah di depan mata. Namun, saya menghormati tindakan Di Canio sebagai sebuah tindakan yang sangat sportif,” ujar pelatih West Ham, Harry Redknapp.
Pelatih Everton, Walter Smith menilai tindakan Di Canio sebagai contoh tindakan fair play yang sepantasnya ditiru pemain lain.
Namun, rekan satu timnya Frederic Kanoute tidka mendukung tindakan Di Canio. Pemain asal Perancis itu sama sekali tidak menganggap sang kapten tim sebagai pahlawan.
“Kalau saya yang berada dalam posisi itu, maka saya akan tetap mencoba mencetak gol. Ada dua alasannya, pertama, cedera Gerrard terjadi karena kesalahannya sendiri. Dan kedua, ada dua pemain Everton saat itu di mulut gawang, sehingga tetap tidak mudah untuk mencetak gol,” kata Kanoute.

***

LALU apa yang melatarbelakangi tindakan Di Canio itu sendiri?
“Saya sama sekali tidak mengharapkan pujian apa pun atas tindakan saya itu. Bagi saya kejadian itu, tidak beda seperti ketika saya tidak mau disebut sebagai psychopath karena mendorong jatuh Wasit Paul Alcock,” tegas Di Canio.
Menurut Di Canio, ia memilih untuk menghentikan permainan karena ia melihat kiper Everton mengalami cedera. Ia melihat lutut kiper Gerrard dan ia percaya bahwa cedera yang dialami pemain Everton itu berat.
“Saya mendengar ia berteriak kesakitan dan saya langsung tahu bahwa itu cedera yang sangat serius. Oleh karena itu, saya berteriak minta Trevor Sinclair menghentikan permainan agar Paul (Gerrard) dapat segera mendapat perawatan,” kata Di Canio.
Ketika keputusan itu ia ambil, menurut Di Canio, itu dilakukan secara spontan dan tidak lagi berpikir tentang kesempatan yang sebenarnya bisa dimanfaatkan timnya.
“Semuanya terjadi begitu saja, tanpa ada pemikiran panjang. Bagi seorang pemain profesional, cedera yang serius itu jauh lebih buruk daripada harus kehilangan dua angka,” kata Di Canio.
Akan tetapi, kalau permainan terus dilangsungkan apakah Anda bisa mencetak gol? “Kita tidak bisa memastikan hal itu. Memang dengan gawang tanpa kiper, peluang untuk bila melakukan itu sangat besar,” tutur Di Canio seperti disampaikan kepada Grabriele Marcotti.

***

OLEH karena, manusia bukan kera, maka manusia selalu bisa berubah. Kalimat bijak itu sangat tepat dipakai untuk menggambarkan Di Canio.
Lelaki kelahiran Roma, Italia, 9 Juli 1968 ini dikenal sebagai pemain yang sangat berbakat. Dengan tinggi badan 175 cm dan berat 73 kg, Di Canio dikenal sangat tajam dalam membaca permainan, sehingga seketat apa pertahanan lawan, ia selalu bisa menerobosnya.
Kejeniusan Di Canio bisa terlihat dari begitu banyak klub besar yang pernah mengontraknya mulai dari Lazio, Juventus, Napoli, dan AC Milan. Dia satu di antara sedikit pemain Italia yang berani mencoba peruntungan di luar negeri. Sejak tahun 1996, ia melalang buana ke Skotlandia dan Inggris.
Namun, di samping kejeniusan, Di Canio dikenal juga sebagai pemain yang bandel. Tidak banyak pelatih yang bisa menangani pemain yang satu ini.
Pencinta West Ham pantas beruntung mendapatkan Di Canio. Di Canio pun pantas berterima kasih kepada West Ham yang telah mengangkatnya kembali sampai di musim lalu ia mendapat penghargaan Opta Index Player of the Year.
Banyak klub yang mengincar pemain berusia 32 tahun itu mulai dari Manchester United, Chelsea, hingga Lazio. Waktulah yang akan menentukan perjalanan karier Di Canio selanjutnya. (Suryopratomo)

*foto dari www.express-news.it
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger