Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Editorial Surat Kabar, Rabu, 3 Februari 2010

EDITORIAL Koran Tempo:
Kenakalan Anak Jangan Diadili

Vonis bersalah bagi seorang bocah 9 tahun oleh Pengadilan Negeri Surabaya, dua hari yang lalu, menunjukkan betapa hukum diterapkan secara kaku tanpa hati nurani. Hati nurani kita bertanya-tanya, perlukah anak-anak kecil dibawa ke pengadilan hanya untuk kesalahan-kesalahan sepele.
Bocah itu--panggil saja dengan nama samaran Dede--adalah siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri Dr Sutomo, Surabaya. Pada Maret tahun lalu, saat pulang dari sekolah, keisengan bocahnya muncul. Ia ambil seekor lebah, lalu ditempelkannya ke pipi seorang teman perempuan sekelasnya. Orang tua anak perempuan ini, seorang komisaris polisi di Kepolisian Daerah Jawa Timur, tidak terima. Ia mengadukan ulah Dede sebagai penganiayaan.
Sejak itu, proses hukum berjalan. Permohonan maaf orang tua Dede tak mampu mengubah pengaduan itu.
Si anak pun disidik beberapa kali, berkasnya dibawa ke kejaksaan, hingga kemudian diadili. Dua hari yang lalu hakim memvonis Dede bersalah, dan ia dikembalikan ke orang tuanya untuk "dididik lebih baik".
Ini bukan kasus pertama pemidanaan anak untuk perkara sepele. Pada 2005, Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, memvonis bersalah seorang anak, juga berusia 9 tahun, karena memukul temannya. Seperti Dede, ia kemudian dikembalikan ke orang tuanya.
Mei tahun lalu, Pengadilan Negeri Tangerang pun menyidangkan 10 anak berusia 8-10 tahun dengan tuduhan berjudi. Anak-anak penyemir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta itu tertangkap tim razia judi sedang bermain-main taruhan sambil menunggu pelanggan.

Akhirnya mereka semua divonis bersalah, namun dikembalikan ke rumah.
Serentetan penyidangan terhadap anak yang berujung vonis bersalah itu menunjukkan betapa timpangnya hukum kita. Di satu sisi, banyak pelaku kejahatan yang tak kunjung dibawa ke pengadilan. Di sisi lain, bocah-bocah yang masih di bawah umur dengan kenakalan sepele harus berhadapan dengan proses penuntutan hingga persidangan yang melekatkan trauma.
Kasus seperti ini seharusnya tak terjadi jika polisi dan jaksa tidak melihat hukum secara sempit pasal demi pasal. Semua anak itu dituntut dengan pasal-pasal KUHP. Ini artinya, kenakalan mereka disamakan dengan kejahatan pidana.
Kenakalan anak-anak itu jelas bukan kelakuan yang bisa disamakan dengan kejahatan orang dewasa. Bahkan Undang-Undang No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak jelas menyebutkan, meski seorang anak bisa saja diperiksa penyidik, ditekankan bahwa pengadilan merupakan langkah terakhir. Penyidik, sesuai dengan pasal 5 ayat 2, harus mengembalikan si anak ke rumahnya bila kenakalan itu dianggap masih bisa diperbaiki oleh orang tuanya.
Bahkan pasal 5 ayat 3 undang-undang yang sama menegaskan, kalaupun kenakalan itu tak bisa lagi dibina oleh orang tuanya, penyidik menyerahkan si anak ke Departemen Sosial, bukan ke pengadilan. Artinya, dalam kasus ini penyidik menggunakan kewenangan diskresi, yaitu penyelesaian perkara tanpa proses pemidanaan.
Kewenangan itulah yang tidak digunakan. Polisi dan jaksa mestinya lebih bijak. Tak ada unsur pidana yang pantas didakwakan kepada bocah itu. Dengan dasar ini pula, hakim mestinya memvonis bebas Dede.Vonis bersalah, meski dia tidak dihukum, tetaplah traumatis bagi bocah yang jalan hidupnya masih panjang.

Editorial Media Indonesia:
Menembus Rahasia Bank

DUA bulan sudah Pansus Angket Bank Century bekerja, tetapi hasilnya kian mengecewakan publik. Mengecewakan sebab pansus lebih menjadi reality show murahan dengan gaji dan fasilitas mahal yang menampilkan aktor sinetron sebagai aktor politik.

Padahal, ada dua tujuan utama penyelidikan yang dilakukan Pansus Angket Bank Century di DPR. Pertama, untuk mengetahui apakah ada indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam pengucuran dana Rp6,7 triliun kepada Bank Century. Kedua, menyelidiki ke mana saja aliran dana talangan tersebut.

Sejak dibentuk 4 Desember 2009, pansus hanya berkutat pada kebijakan pengucuran dana talangan. Pansus terbentur pada tembok rahasia bank untuk membongkar aliran dana dari Bank Century kepada pihak ketiga.

Padahal, jauh hari sebelum pansus dibentuk sudah beredar informasi bahwa dana talangan itu mengalir ke berbagai pihak, bahkan disebut-sebut pula masuk ke kantong tim sukses calon presiden.

Rahasia bank, menurut ketentuan Undang-Undang Perbankan, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah, penyimpanan dan simpanannya. Adalah benar bahwa rahasia bank bersifat limitatif. Akan tetapi, keperluan penyelidikan pansus DPR tidak termasuk di pengecualian atas rahasia bank itu.

Meski demikian, Undang-Undang Hak Angket memberikan kewenangan kepada pansus untuk mendapatkan semua dokumen berkategori rahasia melalui penetapan pengadilan. Pengadilanlah yang menyita semua dokumen tersebut.

Jadi, ada pintu hukum bagi Pansus Angket Bank Century untuk membongkar habis ke manakah perginya semua uang talangan itu.

Usulan agar pansus meminta penetapan pengadilan muncul dalam rapat konsultasi pimpinan dewan dengan pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta Bank Indonesia pada 29 Januari. Untuk menindaklanjuti usulan itu, pimpinan pansus pun meminta pendapat hukum Mahkamah Agung pada 1 Februari dan lembaga tertinggi peradilan itu sudah memberikan persetujuannya.

Nah, apa lagi yang ditunggu pansus? Bukankah pansus harus bergerak cepat karena undang-undang hanya memberikan waktu 60 hari kerja kepada pansus untuk melakukan penyelidikan? Bukankah itu berarti masa tugas pansus berakhir pada 4 Maret?

Hanya tersisa waktu sebulan lagi. Mestinya, pansus fokus mengusut aliran dana dan itu pun tajam pada dua persoalan besar saja. Pertama, menyelidiki aliran dana fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) yang diterima Bank Century pada kurun waktu 14-18 November 2008 sebesar Rp821,33 miliar. Ke mana dan siapa yang merampok uang itu?

Hal itu penting diketahui sebab setelah diberi uang, Bank Century tetap kolaps dan pada 21 November 2008 diputuskan diberi dana talangan.

Kedua, yang jauh lebih penting, pansus harus membongkar aliran dana talangan untuk Bank Century sebesar Rp6,7 triliun itu.

Pansus sudah meminta penetapan pengadilan untuk menerobos rahasia bank. Bila penetapan pengadilan itu ditelantarkan, berarti pansus telah dapat 'dibeli'. 

Tajuk Rencana Kompas:
Serbuan Produk China

Kecemasan kalangan usahawan akan serbuan produk China kian jelas. Tanpa upaya radikal mengatrol daya saing, produsen Indonesia semakin terancam.
Bukan soal serbuan barang China itu semata yang mengkhawatirkan berdampak negatif, semisal kebangkrutan, bagi produsen dan industri nasional. Kapasitas nasional untuk mengimbangi kekuatan China tak kalah meresahkan jika tanpa upaya radikal pembenahannya. Apalagi, jika semua produk yang masuk skema Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN sudah berlaku penuh.
Mumpung masih ada waktu, segala daya mesti dikerahkan untuk mematahkan rasa cemas itu tak jadi kenyataan pahit. Soalnya, China terus berpacu mengerjakan pekerjaan rumahnya. Jangankan Indonesia, China dengan kekuatan ekonominya kian berani ”mengangkat kepala” berhadapan dengan AS sekalipun.
Semua itu bukan ancaman kosong. Data ekspor-impor yang dirilis Badan Pusat Statistik, termasuk yang diberitakan, Selasa (2/2), memaparkannya. Meskipun nilai ekspor produk nonmigas Indonesia juga meningkat dari tahun ke tahun dalam perdagangan bilateral dengan China, impor nonmigas dari China jauh lebih pesat.
Laju kecepatan ekspor mereka ke Indonesia mencapai peningkatan 300 persen jika hitungan dimulai tahun 2004 sampai 2009. Sementara itu, kecepatan Indonesia mengekspor produk nonmigas ke sana berjalan lebih lambat, hanya 183 persen dalam kurun waktu yang sama.
Impor nonmigas dari China menempati posisi nomor satu senilai 13,5 miliar dollar AS (17,3 persen) dari total impor nonmigas tahun 2009. Padahal, China tahun 2004 masih merupakan negara kedua sumber impor Indonesia, senilai sekitar 3,4 miliar dollar AS, di bawah Jepang.
Tahun 2009 Indonesia mengekspor 8,9 miliar dollar AS. Nilai tersebut menguasai 9,14 persen dari total ekspor nonmigas 97,47 miliar dollar AS, sedangkan ekspor nonmigas tahun 2004 hanya sekitar 3,15 miliar dollar AS.
Di tengah penurunan nilai total ekspor tahun lalu itu, industri manufaktur besar dan sedang pun mengalami tekanan. Produksi meningkat, sementara daya jual di pasar global melemah. Karena itu, produsen Indonesia terpaksa harus berorientasi jual ke pasar domestik sembari menanti pulihnya permintaan global.
Kunci persaingan yang harus dibuat Indonesia adalah mempercepat perbaikan struktur biaya produksi. Di sanalah titik lemah dunia usaha Indonesia, termasuk di dalamnya soal penurunan suku bunga, biaya energi, biaya transportasi, yang selama ini dicap biang keladi penyebab mahalnya biaya berbisnis di Indonesia. Belum lagi soal produktivitas, birokrasi, dan serbuan barang ilegal.
Sangat kompleks memang. Persoalan kompleks yang bertali-temali tentu memerlukan penanganan dan pemecahan soal secara terintegrasi dan terkoordinasi pula semua otoritas. Bukan kebijakan ad hoc saja, semisal renegosiasi parsial perjanjian perdagangan bebas semata.

Pemerintah Antidemonstrasi

Pemerintah Rusia pimpinan Presiden Dmitry Medvedev dan PM Vladimir Putin tengah ditantang untuk membuktikan bahwa Rusia sudah berubah.
Apakah benar Rusia sudah berubah setelah tumbangnya Uni Soviet dan bangkrutnya komunisme? Selama ratusan tahun Rusia diperintah dinasti otoriter Romanov. Tsar Nicholas II lalu dijatuhkan oleh Revolusi Bolshevik dan selama 74 tahun rezim komunis berkuasa.
Cerita itu berakhir pada 1991. Komunisme yang sudah mencengkeram negeri itu sejak kemenangan Revolusi Bolshevik 1917 tak berdaya. Dan, Rusia muncul sebagai negeri baru. Namun, jalan apakah yang akan ditapaki Rusia setelah itu?
Tindakan tegas aparat keamanan terhadap para demonstran, yang menuntut pengunduran diri PM Vladimir Putin karena dianggap salah kelola dalam mengurus perekonomian nasional, memberikan gambaran bagaimana dan seperti apa sesungguhnya wajah Rusia itu.
Polisi menahan lebih dari 100 demonstran, termasuk para pemimpin oposisi. Di Vladivostok, menurut berita BBC News, misalnya, para saksi mata mengungkapkan, polisi menendangi para demonstran, menghancurkan perlengkapan para wartawan, dan menahan lusinan demonstran. Demonstrasi itu sudah digelar sejak Desember tahun lalu dan terjadi di sejumlah kota di seluruh Rusia. Putin menjadi sasaran protes mereka.
Tindakan tegas, termasuk penahanan para demonstran, dan larangan terhadap demonstrasi, mengundang berbagai tanggapan termasuk dari Uni Eropa karena sebenarnya protes, demonstrasi, dijamin oleh Konstitusi Rusia.
Dulu memang rakyat lebih memilih stabilitas dan kesejahteraan daripada demokrasi. Artinya, perut dianggap lebih penting dibandingkan kebebasan. Namun, hal itu tidak bisa berlangsung selamanya.
Ketika kesadaran rakyat akan demokrasi, kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, penghormatan terhadap hak asasi manusia semakin tinggi, pemerintah mana pun tak akan mampu menahannya.
Tidak bisa dihindari bahwa orang berharap banyak dari demokrasi. Orang meyakini bahwa demokrasi akan mengurangi ketidakadilan, yang makin lama makin dirasakan rakyat, demokrasi juga dirasakan lebih menghormati kemanusiaan manusia walau tetap ada kekurangannya.
Memang, demokrasi tidak bisa mendadak sontak terwujud. Ia membutuhkan proses, harus selalu dikontrol agar aspirasi rakyat mendapat tempat. Dan, protes dalam bentuk demonstrasi merupakan salah satu cara dari usaha mengontrol pemerintah.
Karena itu, antidemonstrasi, apalagi menindak tegas dan keras, bahkan menangkapi para demonstran, bisa-bisa malah akan berbuah buruk bagi pemerintah. Sejauh demonstrasi itu juga tetap tidak anarkistis.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger