|
|
EDITORIAL » Moratorium Remisi
SUDAH lama publik tahu negeri ini adalah surga bagi koruptor. Seseorang yang menilap uang rakyat miliaran rupiah hanya dihukum ringan.
Tidak hanya itu. Di dalam bui pun sejumlah keistimewaan menanti. Asal mampu membayar, banyak fasilitas bisa didapat. Kamar khusus lengkap dengan pendingin ruangan dan kulkas. Bisa pula leluasa menggunakan telepon seluler.
Jika ingin menyantap makanan kesukaan pun ada yang siap melayani. Masih ada yang lain? Tentu saja. Pengurangan hukuman alias remisi pun mudah diperoleh. Koruptor bisa mendapat remisi terkait hari raya keagamaan, HUT kemerdekaan, dan juga kegiatan sosial di penjara, misalnya menjadi donor darah.
Koruptor juga mendapatkan pembebasan bersyarat. Artinya, sudah bisa keluar dari penjara sebelum berakhir masa hukuman.
Hak-hak narapidana diatur dalam UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Khusus Pasal 14 di antaranya menyebutkan narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), mendapatkan kesempatan berasimilasi mengunjungi keluarga, mendapatkan pembebasan bersyarat, dan mendapatkan cuti menjelang bebas.
Berkali-kali melalui forum ini kita tolak remisi bagi koruptor, teroris, maupun bandar dan pengedar narkotika. Terhadap pelaku tiga kejahatan ini mestinya diberlakukan hukuman maksimal tanpa ada remisi, tanpa pembebasan bersyarat, pun tanpa asimilasi serta cuti menjelang bebas.
Namun, kita ingatkan bahwa semua itu harus dilakukan di bawah payung hukum yang jelas agar tidak muncul tuduhan diskriminasi dan sikap otoriter. Perintah lisan seorang pemangku jabatan tidak boleh menjadi pegangan yang menggugurkan keputusan yang sudah diambil berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Contohnya ialah kasus yang menimpa terpidana korupsi tiga mantan anggota DPR dari Golkar, yaitu Paskah Suzetta, Bobby Suhardiman, dan Hafiz Zawawi. Pembebasan bersyarat ketiganya ditangguhkan karena Menteri Hukum dan HAM yang baru Amir Syamsuddin serta Wakil Menkum dan HAM Denny Indrayana memberlakukan moratorium remisi bagi koruptor.
Padahal keputusan remisi untuk ketiganya sudah terbit sehingga mereka berhak mendapat pembebasan bersyarat sejak Minggu (30/10).
Kita setuju perlakuan terhadap narapidana korupsi, terorisme, dan narkotika lebih ketat jika dibandingkan dengan narapidana tindak pidana lainnya. Namun pembedaan itu harus dilakukan atas dasar aturan tertulis, bukan atas perintah lisan menteri atau wakil menteri.
Hanya aturan yang jelas dan transparan terjaga objektivitas penilaian terhadap narapidana. Juga tidak terjadi jual beli remisi. Aturan hukum menjadi pegangan publik, tidak tergantung pada penafsiran sepihak pejabat.
Jika ada pejabat merasa diri di atas hukum kemudian suka-suka memberi titah yang harus dipatuhi, berlakulah hukum rimba. Yang kuat, buas, dan otoriter akan menang.
PAUSE » Stroke Terkait Depresi
ORANG yang mengalami depresi berat berisiko mengalami stroke. Demikian kesimpulan penelitian dari Universitas Soochow, China, baru-baru ini.
Dalam studinya, peneliti Li-Qiang Qin juga membandingkan hasil penelitiannya dengan hasil 17 penelitian lainnya. Alhasil, mereka yang mengalami depresi berisiko menderita stroke sebesar 34%.
Stroke adalah penyakit terbanyak ketiga menyebabkan kematian di AS. Berdasarkan data Pusat Pencegahan dan Kontrol Penyakit AS, sekitar 26 dari 10 ribu warga 'Negeri Paman Sam' menderita stroke.
Peneliti juga mencatat bahwa depresi juga terkait dengan risiko diabetes dan darah tinggi. Dua penyakit itu pun dikenal sebagai faktor penyebab stroke. (Reuters/*/X-5)