|
|
EDITORIAL » Mencla-mencle Pembatasan BBM
PEMERINTAH kembali melempar wacana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Program pembatasan itu direncanakan dimulai April 2012. Sebagai langkah awal, hanya mobil pribadi di Jawa dan Bali yang dilarang menggunakan premium.
Itu setidaknya yang ketujuh kali pemerintah melempar wacana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dengan berbagai konsep yang selalu berubah. Mulai pembatasan menggunakan smart card, pembatasan berdasarkan kapasitas mesin, pembatasan berdasarkan tahun pembuatan kendaraan, hingga melarang semua kendaraan pribadi mengonsumsi premium.
Namun, semua itu bagai pepesan kosong. Wacana pembatasan tidak pernah bermuara pada implementasi. Jangan-jangan, rencana pembatasan kali ini pun bakal hilang bak tertiup angin.
Suka atau tidak suka, sekarang ataupun nanti, sebenarnya mengkaji kembali subsidi BBM perlu dilakukan. Hal itu mengingat minyak bukan lagi barang murah di muka Bumi ini. Pasokannya semakin tidak seimbang dengan melonjaknya kebutuhan. Lagi pula, itulah energi yang tidak terbarukan.
Terlebih bagi Indonesia, yang tidak lagi tercatat sebagai negara pengekspor minyak. Sejak 2008, Indonesia keluar dari organisasi negara-negara pengekspor minyak OPEC. Indonesia telah menjadi negara pengimpor minyak.
Jelas sekali sangat penting untuk mempertimbangkan kembali pemberian subsidi BBM, yang tahun ini saja mencapai Rp129,72 triliun. Apakah masih realistis menggelontorkan subsidi bagi komoditas yang sebagian besar dikonsumsi para pemilik mobil pribadi itu? Padahal, anggaran negara terbatas.
Pada titik itulah kemauan dan kematangan politik pemerintah diuji. Penurunan BBM bersubsidi alias penaikan harga BBM mengandung pertaruhan politik, setidaknya mengundang kontroversi yang biasanya disertai dengan aksi turun ke jalan kalangan yang menentangnya.
Mengubah arah kebijakan subsidi jelas tidak populer. Namun, membiarkan anggaran subsidi terus mengucur tanpa sasaran yang tepat juga tidak realistis.
Yang jelas, publik butuh kepastian. Pemerintah jangan mencla-mencle. Apa pun yang sudah menjadi keputusan terkait dengan BBM bersubsidi, ambillah dengan tegas. Yang penting, pikirkan perangkat yang dapat menangkal penyelewengan.
Disparitas harga antara BBM subsidi dan BBM nonsubsidi yang hampir dua kali lipat, misalnya, sangat menggiurkan para penyeleweng. Oleh karena itu, jangan biarkan kendaraan angkutan umum yang masih boleh mengonsumsi BBM bersubsidi berubah menjadi mobil tangki premium bagi para pencoleng yang tergiur keuntungan dari selisih harga.
Penghematan anggaran dari pembatasan konsumsi BBM bersubsidi jangan mengalir ke mana-mana. Dia harus diprioritaskan dan difokuskan bagi penyediaan moda transportasi massal dan pengembangan energi terbarukan.
Sebenarnya, tidak butuh birokrat genius untuk menyelesaikan karut-marut BBM bersubsidi. Juga sia-sialah kajian pakar perguruan tinggi karena pemerintah tidak berani mengambil keputusan. Negara ini butuh pemerintah yang tegas.
PAUSE » Merokok Picu Menopause Dini
PEREMPUAN perokok berpotensi besar mengalami fase menopause lebih awal. Hal itu dikemukakan Dr. Volodymyr Dvornyk, ketua tim peneliti dari Universitas Hong Kong, China.
Dvornyk dan timnya baru-baru ini mengamati 6.000 perempuan dari AS, Polandia, Turki, dan Iran. Dari jumlah itu, para perempuan tidak merokok rata-rata memasuki fase menopause normal, yakni pada usia 46-51 tahun. Sebaliknya, pada perempuan perokok fase itu terjadi rata-rata pada usia 43-50 tahun.
Menopause adalah fase perempuan mengalami akhir dari masa kesuburannya atau berhenti haid. "Fase menopause dini berpotensi terhadap risiko kesehatan, seperti osteoporosis, penyakit jantung, diabetes melitus, dan alzheimer," kata Dvornyk. (*/Reuters/X-8)
ON THIS DAY »
1962: Pembantaian Warga AlJazair
1973: Embargo Minyak OPEC
1989: Gempa Guncang San Francisco