|
|
EDITORIAL » Ancaman PKS
PARTAI Keadilan Sejahtera (PKS) kembali membuat gaduh terkait dengan rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II. Gaduh karena saat wacana dan proses perombakan itu digulirkan, kader-kader PKS menyerang Presiden dengan pernyataan merendahkan dan mengancam.
Yang merendahkan ialah Presiden Yudhoyono dibandingkan dengan penguasa Orde Baru Presiden Soeharto. Yudhoyono dinilai sebagai presiden paling rajin melakukan uji kelayakan dan kepatutan untuk mengangkat menteri, tetapi paling banyak reshuffle. Itu berbeda dengan Pak Harto, yakni cukup melalui telepon, tetapi tidak ada reshuffle.
Yang mengancam ialah PKS mengatakan, kalau ada menteri mereka yang dicopot, PKS akan membeberkan kontrak politik antara Yudhoyono dan PKS ke publik.
Membandingkan dua presiden yang memerintah di zaman yang sangat berbeda tentu bukanlah contoh kecerdasan sejarah. Hal itu lebih menunjukkan kekecewaan. PKS agaknya lupa bahwa Pak Harto berkuasa melalui pemilu tidak demokratis.
Negeri ini hidup di bawah sistem otoriter. Seluruh kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif berada di genggamannya. Presiden Soeharto hanya perlu menelepon karena proses seleksi sudah berjalan jauh sebelumnya secara diam-diam, dilakukan lembaga intelijen negara ataupun melalui kaderisasi di Lembaga Ketahanan Nasional.
Akan tetapi, yang paling perlu disorot ialah ancaman PKS membeberkan kontrak politik ke publik. Itu ancaman yang menjerat Presiden. Semestinya rakyat marah besar karena ternyata presiden yang mereka pilih secara langsung itu dikekang kontrak politik yang bersifat rahasia.
Sesungguhnya, bukan kali ini saja PKS menyerang dan mengancam Yudhoyono. Ketika isu reshuffle sempat bergulir beberapa bulan lalu, kader-kader PKS pun berteriak lantang, juga dengan nada mengancam. Ujung-ujungnya tidak jauh dari kepentingan PKS untuk mengamankan empat kursi menteri dalam kabinet.
Mengangkat dan memberhentikan menteri ialah hak prerogatif presiden. Apa pun metode yang dipilih presiden dalam menunaikan amanat konstitusi itu harus dihormati. Yudhoyono bebas memakai metode yang berbeda dengan Pak Harto untuk memilih anggota kabinet. Ia boleh menggunakan metode Sujiwo Tejo, metode Arswendo Atmowiloto, atau metode Ruhut Sitompul. Yang jadi persoalan bukan metodenya, melainkan show yang menyertai fit and proper test ala Yudhoyono itu.
Presiden Yudhoyono juga bebas memecat menterinya yang tidak berkinerja optimal. Karena itu, sepak terjang PKS sangat mengherankan. Bisa-bisanya partai peraih suara 7,88% dalam pemilu itu berani main ancam. Lebih mengherankan lagi, bisa-bisanya sebagai pemegang hak prerogatif, Yudhoyono hanya diam diancam-ancam secara tidak patut oleh mitra koalisinya sendiri.
Koalisi dibangun dengan semangat dan asas partnership. Di sana ada trust yang harus dijunjung tinggi. Kalau tidak percaya lagi kepada partner, semestinya PKS mengundurkan diri saja dari koalisi.
Di sisi lain, Presiden Yudhoyono pun tidak perlu takut memecat menteri-menteri PKS yang berkinerja buruk. Bahkan, buka saja kontrak politik dengan PKS itu supaya rakyat tahu apa isinya.
PAUSE » Pesepeda dan Polutan
SEBUAH penelitian sederhana di London, Inggris, mengungkapkan paru-paru pesepeda urban terpapar kandungan karbon hitam rata-rata 2,3 kali lebih banyak ketimbang lima pejalan kaki. Karbon hitam adalah polutan hasil pembakaran tidak sempurna bahan bakar minyak. Polutan itu dapat meningkatkan risiko penyakit antara lain pada jantung dan paru-paru.
Menurut peneliti, kesimpulan sementara itu akibat paru-paru pesepeda bekerja lebih keras jika dibandingkan dengan berjalan kaki atau berlari. "Namun, masih ada semacam ketidakpastian atas risiko individual hanya karena bersepeda di antara lalu lintas padat. Kami akan mencari tahu kepastiannya dalam penelitian selanjutnya," ujar peneliti Dr Chin Nwokoro dari Barts and the London School of Medicine.(Reuters/*/X-5)
ON THIS DAY »