|
|
EDITORIAL » Pelajaran dari Libia
DUA bulan setelah tumbang dari kekuasaannya, mantan pemimpin Libia Moamar Khadafi tewas ditembak, Kamis (20/10). Ia mati akibat perlakuan yang barbar dan sadistis. Bukan saja takhta yang lenyap, bukan pula hanya nyawa yang melayang, kehormatan sang pemimpin Libia itu juga terinjak.
Tewasnya Khadafi tidak terlepas dari peran pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang melakukan serangan udara terhadap konvoi kendaraan rombongan Khadafi yang melarikan diri ke arah barat Sirte, kampung halaman Khadafi. Ia sempat selamat dari serangan udara itu dan bersembunyi di gorong-gorong. Akan tetapi nahas, para pejuang Dewan Transisi Nasional (NTC) mengepung tempat persembunyiannya.
Tidak berakhir di situ. Setelah tewas ditembak, jenazahnya diarak keliling kota dan menjadi tontonan.
Begitulah kehidupan Khadafi berakhir tragis. Sosok yang pernah sangat berkuasa dan ditakuti itu tamat riwayatnya oleh rakyatnya sendiri. Kematiannya disambut sukacita oleh rakyat Libia yang mendambakan kebebasan setelah empat dekade hidup di bawah pemerintahan otoriter.
Itulah kematian yang menjadi pembuka jalan bagi rakyat Libia untuk menentukan masa depan yang lebih baik, lebih merdeka.
Tak hanya rakyat Libia yang bergembira. Para keluarga korban peledakan pesawat American World Airways di atas Lockerbie, Skotlandia (1988), juga menyambut kematian Khadafi sebagai akhir dari mimpi buruk. Sebab, mereka menganggap Khadafi-lah master mind di balik tragedi itu.
Kini, dunia menunggu peran aktif NTC, lembaga peralihan di negeri itu, agar dapat mengambil langkah menyiapkan landasan transisional untuk mengubah Libia dari negara yang otokratis menjadi negara demokratis.
Dunia pun mengamati peran NATO selanjutnya. Setelah mengintervensi ke Libia dengan alasan membela dan mendukung gerakan prodemokrasi yang ditindas rezim Khadafi, akan segera terlihat apakah memang itu kepentingan sejati di balik serangan NATO, ataukah sekadar mengamankan kepentingan para anggota NATO dalam mengapling sumur-sumur minyak Libia.
Tentu bukan perkara mudah untuk membangun negara yang demokratis. Tidak mudah bagi NTC, juga tidak mudah bagi rakyat Libia sendiri. Setelah demikian lama hidup tertekan, tidaklah mudah mengelola euforia dan menyelesaikan transisi dengan cerdas.
Khadafi sudah tewas dengan tragis. Ia mestinya menjadi pelajaran bagi siapa pun yang berkuasa bahwa kekuasaan itu tidak abadi.
Oleh karena itu, menjadi keniscayaan bagi para pemimpin di mana pun untuk memperlakukan kekuasaan sebagai amanah. Amanah untuk mendengarkan suara dan hati nurani rakyat, amanah untuk menyejahterakan masyarakat. Bukan sebaliknya, menyalahgunakan kekuasaan. Ini berlaku universal baik untuk raja ataupun kepala negara yang dipilih secara demokratis. Sebab, yang dipilih langsung oleh rakyat pun bisa lupa akan rakyatnya dan kemudian ditumbangkan oleh rakyat.
PAUSE » Jejaring Sosial dan Otak
PARA ilmuwan di Inggris menemukan adanya hubungan langsung antara jumlah teman seseorang di jejaring sosial dan ingatan, respons emosional, serta interaksi sosial. Temuan itu meningkatkan kemungkinan penggunaan jejaring sosial bisa mengubah otak kita. Hal itu diketahui setelah tim dengan menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) meneliti aktivitas otak 125 mahasiswa pengguna aktif Facebook dan diuji silang dengan kelompok lain, 40 mahasiswa.
"Penelitian ini menunjukkan kita dapat menggunakan alat ilmu saraf modern untuk menjawab pertanyaan apa efek jejaring sosial, khususnya terhadap otak kita," kata peneliti Geraint Rees dari University College London (UCL). (*/Reuters/X-5)