TAJUK: Indonesia Open dan Antusiasme yang Tersiakan
Setelah begitu banyak kekacauan dan kebusukan yang terjadi di bangsa ini, maka hal yang dibutuhkan rakyat Indonesia adalah sesuatu yang bisa memberikan keteduhan hati.
Sebagai negara yang internalnya bermasalah dan sering kali membuat minder ketika bertemu bangsa lain, kebanggaanlah yang dibutuhkan.Rasa bangga bahwa bangsa Indonesia memiliki supremasi atas bangsa lain akan menjadi pengalih dari kekecewaan menghadapi realita busuknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang kian berurat berakar di bumi pertiwi.
Turnamen bulu tangkis Indonesia Open yang diadakan di Jakarta, 21–26 Juni lalu, seharusnya bisa menjadi salah satu pemupuk rasa bangga itu.Namun, tampaknya bangsa ini harus menunggu lebih lama datangnya penawar itu. Untuk dukungan memang kita pantas berbangga diri.
Suporter Indonesia memang terkenal dengan antusiasme yang meluapluap. Bahkan,Direktur Penyelenggara Federasi Badminton Dunia (BWF) Darren Parks mengutarakan sendiri kekagumannya atas atmosfer pertandingan dan antusiasme penonton Indonesia.
Namun, dukungan itu akan surut kalau tak juga dijawab dengan prestasi.Seharusnya dengan sekian banyak kekalahan di berbagai sektor,kemenangan ini bisa menjadi obat penawar yang bisa memberikan kebanggaan. Kita bisa merasakan sementara nikmatnya menjadi bangsa superior.
Pada awal hari Minggu kemarin,mungkin kita semua masih punya asa, setidaknya dari lima gelar yang diperebutkan di kejuaraan badminton Indonesia Open masih ada wakil Indonesia di final nomor ganda putri dan ganda campuran.Namun, akhirnya Vita Marissa/Nadya Melati tumbang dan begitu pun Lilyana Natsir/Achmad Tantowi.
Pemain Indonesia bak kehilangan semangat dan kemampuannya ketika menghadapi lawan. Bahkan dalam beberapa bertandingan terlihat pemain Indonesia,negara yang pernah mengoleksi 13 Thomas Cup,3 Uber Cup,kalah kelas dari lawannya.Pemain pun mengakuinya seperti pengakuan Vita Marissa yang berpasangan dengan Nadya Melati, bahwa mereka memang kalah kelas dari pasangan ganda putri China Wang Xiaoli dan Yu Yang.
Salah satu mantan pebulu tangkis kebanggaan bangsa, Susi Susanti,yang dalam rangkaian turnamen ini menjadi komentator, mengutarakan bahwa Indonesia butuh memperkuat regenerasi. Pada dekade-dekade sebelumnya, tak susah kita menyebutkan siapa jawara-jawara dari Indonesia. Begitu banyak pemain hebat bertebaran.
Namun, sekarang hanya beberapa yang tersisa. Bahkan, pemain yang sudah termasuk gaek pun harus terus berjibaku karena belum ada yuniornya yang sepadan. Bangsa ini tentu berharap akan kembali muncul generasi baru yang bahkan bisa melebihi prestasi Rudy Hartono yang menjuarai All England 1968–1974 dan 1976.
Atau pengganti Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti yang mengawinkan medali emas cabang bulu tangkis pada gelaran pertama pertandingan bulutangkis di Olimpiade Barcelona 1992. Serta pengganti Taufik Hidayat pemegang medali emas bulu tangkis pada Olimpiade Athena 2004 yang sudah tidak muda lagi dan belum berhasil merengkuh gelar tahun ini.
Memang sebagai bangsa beradab, kita tahu bahwa selalu ada menang dan kalah dalam suatu turnamen.Kemenangan harus kita banggakan, dan kekalahan harus kita terima. Namun, sudah selayaknya kita semua menilai secara teliti dan kritis kenapa terlalu sering bangsa ini harus menelan pil pahit kekalahan di bidang olahraga yang bisa dikatakan bahwa kitalah rajanya.
Semoga para stakeholder sadar bahwa harapan dan antusiasme rakyat sedang tinggi-tingginya.Kita semua berharap bisa merasakan aura kebanggaan itu lagi.Jangan sampai asa ini tersia-siakan lagi. Bangsa ini ingin lagu Indonesia Raya kembali dinyanyikan dalam acara pamungkas.●
Quote of the day
Monday, 27 June 2011 | |
Empat puluh tahun pertama kehidupan memberi kita bacaan, tiga puluh tahun berikutnya memberikan komentar atas bacaan itu. Arthur Schopenhauer (1788–1860), filsuf Jerman |
Headline | |||||
|
- News
China-Vietnam Berdamai Monday, 27 June 2011
Marinir AS dan Filipina mengendarai perahu karet mendekati pantai untuk mengamankan sebuah bukit, dalam latihan militer gabungan di Cavite, selatan Manila pada tahun lalu. - Sports
DOMINASI SPANYOL Monday, 27 June 2011
Pemain timnas Spanyol U-21 merayakan sukses merebut trofi Euro U-21 2011 seusai mengalahkan Swiss 2-0 di Aarhus Stadium, Aarhus, Denmark, Sabtu (25/6). Dua gol dicetak Ander Herrera pada menit ke-41 dan Thiago Alcantara (81). - LifeStyle
Dior Tanpa Galliano Monday, 27 June 2011
Busana besutan Galliano untuk Dior ini begitu segar dan menarik. Inilah karya terakhir Galliano untuk Christian Dior. Tanpa Galliano, rumah mode Christian Dior terus berjalan. Begitu juga dengan label John Galliano yang kini mengangkat direktur kreatif baru, Bill Gaytten.
MIRROR: PENDIRI GLOBAL SOAP PROJECT DERRECK KAYONGO - Daur Ulang Sisa Sabun Hotel untuk Warga Miskin
Sabun mandi batangan yang biasanya hanya dipakai sekali atau dua kali di hotel,ternyata bisa membantu anak-anak miskin melawan penyakit mematikan. Derreck Kayongo dan yayasan yang didirikannya, Proyek Sabun Global (Global Soap Project/GSP),mengumpulkan sabun-sabun hotel sisa pakai dari penjuru Amerika Serikat (AS).
Daripada sabunsabun itu berakhir di tempat pembuangan sampah,Kayongo membersihkan dan memproses ulang untuk dikirimkan ke negara-negara miskin seperti Haiti,Uganda,Kenya,dan Swaziland.
”Saya terkejut saat tahu bahwa banyak sabun yang akhirnya dibuang.Apakah kita benar-benar membuang sabun sebanyak itu saat ada orang lain yang tidak punya apa pun? Hal itu terasa tidak benar,” ungkap Kayongo,yang yayasannya berbasis di Atlanta.
Pria warga Uganda itu memikirkan ide tersebut awal 1990-an,saat dia pertama kali datang ke Amerika Serikat (AS) dan tinggal di sebuah hotel di Philadelphia, Pennsylvania.Saat itu dia menyadari kamar mandinya diisi ulang dengan sabun baru setiap hari,meskipun sabun sebelumnya baru digunakan.
”Saya mencoba mengembalikan sabun baru ke pelayan karena saya pikir saya harus membayar untuk sabun itu.Namun,ketika saya diberi tahu itu hanya kebijakan hotel untuk memberikan sabun baru setiap hari,saya tidak bisa percaya,”paparnya kepada CNN.
Kayongo pun menghubungi ayahnya yang mantan pegawai di perusahaan pembuat sabun di Uganda.”Ayah saya mengatakan, orang-orang di Amerika biasa membuangnya. Tapi saya mulai berpikir,‘Bagaimana jika kita mengambil beberapa sabun ini dan mendaur ulangnya, membuat sabun baru dari itu dan kemudian dikirim untuk orang-orang yang tak bisa membeli sabun?
” Bagi Kayongo, mengumpulkan sabun merupakan misi garis depan pertahanan untuk memerangi kematian anak-anak di penjuru dunia akibat penyakit. Dari sanalah,dia mulai mendirikan organisasinya GSP.
”Saya kaget mengetahui banyaknya sabun yang dibuang sia-sia.Setiap tahun, di Amerika Utara saja tercatat ratusan juta sisa sabun batang yang dibuang percuma,” ungkap Kayongo. Sejauh ini,300 hotel nasional telah bergabung dengan proyeknya mengumpulkan sabun dan berhasil mengumpulkan 100 ton sabun bekas pakai.
Beberapa hotel yang berpartisipasi bahkan menyumbangkan sabun mahal seperti mereka Bvlgari, yang harganya mencapai USD27 per batang. Sukarelawan GSP di penjuru AS mengumpulkan sabun-sabun sisa dari hotel dan mengirimnya ke gudang di Atlanta.
Setiap Sabtu,para relawan yang datang ke sana bertugas membersihkan, mendaur ulang,dan membungkus sabun-sabun yang jadi. ”Kami tidak mencampur langsung semua sabun sisa itu karena memiliki pH,karakter, bau dan warna yang berbeda,” kata Kayongo.
”Kami membersihkan sabun bekas pakai itu terlebih dahulu, memanaskan pada suhu yang sangat tinggi,mendinginkan, dan memotong mereka menjadi batang-batangan.Ini proses yang sangat sederhana, tapi banyak sekali yang harus dikerjakan.
” Satu sabun batangan hanya dibuat untuk satu kali pengiriman,setelah diuji patogen dan dianggap aman oleh laboratorium.GSP juga bekerja sama dengan sejumlah organisasi mitra untuk mengirimkan dan mendistribusikan sabun-sabun itu secara langsung ke masyarakat yang membutuhkannya,secara gratis.
Hingga saat ini,GSP telah menyediakan lebih dari 100.000 batang sabun bagi warga di sembilan negara. Menurut perkiraan,setiap tahun lebih dari 2 juta anak meninggal karena penyakit diare.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, kematian ini banyak terjadi pada anak-anak yang hidup di negara berpenghasilan rendah.
”Masalahnya bukan ketersediaan sabun. Masalahnya adalah biaya,” kata Kayongo. ”Menghasilkan uang USD1 per hari,dan harga sabun 25 sen.Saya bukan ahli matematika yang baik,tapi saya tidak akan menghabiskan 25 sen untuk membeli sabun. Saya akan membeli gula.Saya akan membeli obat.Saya akan melakukan semua hal yang saya pikir akan membuat saya tetap hidup.”
”Ketika Anda jatuh sakit karena tidak mencuci tangan, lebih mahal pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.Dan di situlah masalahnya dimulai dan orang-orang akhirnya mati.” Kepedulian Kayongo,41, terhadap nasib anak-anak miskin ini muncul karena dia sangat paham dengan tekanan hidup akibat kemiskinan dan kekerasan.
Sekitar 30 tahun silam,dia melarikan diri dari Uganda dengan orang tuanya karena penyiksaan dan pembunuhan massal oleh mantan diktator militer Uganda Idi Amin. Menyaksikan kehancuran di tanah kelahirannya terus menghantui kehidupan Kayongo hingga saat ini.
”Ini proses dua jangka panjang yang tidak akan pernah berakhir.Saya anak kecil yang pulang dari sekolah dan harus melewati mayat selama 10 tahun.Ini tidak enak.Ini tidak baik.Banyak teman-teman saya menjadi yatim piatu dan saya masih beruntung,” urainya.
Kayongo dan orang tuanya lantas melarikan diri ke Kenya.Di sana dia mengunjungi teman dan keluarga di kampkamp pengungsian serta berjuang bertahan hidup,kadang-kadang tanpa memiliki apa pun. Untungnya,nasib Kayongo masih sedikit beruntung.
Dari kehidupannya yang keras sebagai pengungsi,dia dapat bersekolah di perguruan tinggi berkat bantuan seorang warga negara AS dan koordinator lapangan untuk CARE International, sebuah organisasi bantuan kemanusiaan swasta.● SUSI SUSANTI