Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Koran Pagi Edisi Sabtu 25 Juni 2011

Koran Tempo, Sabtu, 25 Juni 2011
EDITORIAL » Desain Ulang Transportasi Jakarta
Jakarta harus mendesain ulang sistem transportasinya. Kebijakan lama yang lebih mengandalkan moda angkutan jalan raya terbukti telah gagal. Modal untuk merekayasa ulang transportasi Jakarta kini sudah ada, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen Rekayasa Lalu Lintas. Hadirnya aturan ini sedikit-banyak memberi harapan akan pemecahan masalah kemacetan.
Publik selama ini sulit membayangkan bagaimana problem sehari-hari itu bisa diatasi. Kita tahu, pertambahan panjang jalan hanya 0,01 persen per tahun. Sebaliknya, pertumbuhan jumlah mobil setiap tahun mencapai 10 persen. Pertumbuhan jumlah sepeda motor bahkan sampai 15 persen. Luas jalan di Jakarta saat ini 40,1 kilometer persegi atau hanya 0,26 persen luas kota ini. Kondisi ini membuat banyak kalangan meramalkan Jakarta bakal macet total pada 2014 atau 2015.
Kemacetan bukan sekadar soal waktu tempuh yang makin lama untuk jarak yang kian pendek. Problem ini juga menyangkut soal lain yang lebih fundamental: inefisiensi dalam perekonomian. Konsumsi bahan bakar makin besar dan ujungnya adalah subsidi yang terus membengkak. Beban subsidi di anggaran negara juga pasti terus naik. Kerugian riil akibat kemacetan diperkirakan mencapai Rp 12,8 triliun per tahun.
Jakarta memang sudah melaksanakan berbagai kebijakan untuk mengurai kemacetan, dari penerapan three in one, membuat busway, sampai terakhir membatasi truk-truk bertonase besar masuk Jakarta. Tapi berbagai kebijakan itu toh tak efektif mengatasi masalah tersebut.
Kini pemerintah akan menerapkan kebijakan jalan raya berbayar alias electronic road pricing (ERP). Kebijakan ini sudah lama dikaji, tapi tak kunjung diterapkan karena tak ada payung hukumnya. Terbitnya Peraturan Pemerintah mengenai Manajemen Rekayasa Lalu Lintas jelas akan mempercepat penerapan ERP. Pertengahan tahun depan, jalan-jalan protokol, seperti Sudirman-Thamrin-Rasuna Said, bakal menjadi jalan raya berbayar.
Masalahnya, kebijakan itu tak mampu mengurai kemacetan di seluruh ruas jalan di Jakarta. Harus ada kebijakan lain yang secara paralel diterapkan untuk mendukung ERP, yakni pembenahan secara sistematis terhadap angkutan umum. Harus diakui bahwa angkutan umum di Ibu Kota masih jauh dari memadai. Banyak aspek yang perlu dibenahi: kendaraannya sudah tua dan jumlahnya sedikit, sopirnya ugal-ugalan, serta tidak adanya jaminan ketepatan jadwal.
Pembenahan angkutan umum itu pun mesti segera diikuti dengan pelaksanaan sistem angkutan yang lebih ideal. Pendek kata, Jakarta harus mendesain ulang kebijakan transportasinya. Jalan raya jelas tak bisa selamanya diandalkan karena, selain jumlahnya terbatas, pembangunan jalan raya baru nyaris tak mungkin dilakukan--kecuali model tambal-sulam seperti jalan layang non-tol yang kini sedang dibangun.
Meski agak terlambat, pemerintah mesti memperbanyak angkutan massal-cepat (MRT) di luar yang sudah direncanakan. PT Kereta Api Indonesia Commuter Jabodetabek juga harus dilibatkan dalam desain ulang tersebut. Transportasi mesti ditata ulang untuk mengimbangi laju perkembangan Jakarta.

























Media Indonesia, Sabtu, 25 Juni 2011
EDITORIAL » Dua Wajah Kemiskinan
PEMERINTAH seperti sudah kehabisan akal menumpas kemiskinan. Tak tahu lagi bagaimana cara mengurangi jumlah orang miskin, pemerintah mencari jalan pintas dengan mengamuflase angka kemiskinan.
Salah satunya dengan mengutak-atik patokan yang dijadikan acuan untuk menghitung jumlah orang miskin. Versi pemerintah, yang disebut orang miskin adalah mereka yang berpenghasilan Rp7.000 per hari atau sekitar Rp210 ribu per orang per bulan.
Patokan itu jauh di bawah acuan yang digunakan kebanyakan lembaga internasional yang menetapkan garis kemiskinan di US$1-US$2 atau Rp8.500-Rp17.000 per orang per hari.
Patokan itu juga jauh di bawah upah minimum regional (UMR) atau upah minimum kabupaten (UMK) terendah Rp660 ribu per bulan yang sudah sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Tidak mengherankan kalau pemerintah dituding tidak realistis. Patokan untuk menghitung orang miskin terkesan lebih banyak mempertimbangkan aspek politis ketimbang hitung-hitungan ekonomi yang rasional.
Garis kemiskinan sengaja dibuat rendah agar jumlah orang miskin tidak melonjak. Sebab, menaikkan parameter kemiskinan dengan menyesuaikan kondisi saat ini dikhawatirkan menaikkan jumlah orang miskin.
Pemerintah yang mementingkan citra pasti alergi dengan hal itu. Membuka angka valid kemiskinan dianggap sama saja dengan menyeret turun popularitas di mata rakyat.
Kalau menggunakan acuan angka kemiskinan internasional, jumlah orang miskin pasti melonjak drastis dari angka yang diklaim pemerintah.
Pemerintah mengatakan saat ini jumlah orang miskin di Indonesia 31,023 juta atau 13,3% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Angka tersebut menjadi alat propaganda politik sekaligus alat ukur keberhasilan kinerja. Realitas kemiskinan pun menjadi nomor dua.
Termasuk realitas itu ialah terus membeludaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri kendati harus menyabung nyawa. Kelak, jika langkah moratorium penempatan TKI benar-benar diterapkan, jumlah pengangguran pun kian membengkak.
TKI itu bakal menghadapi situasi kemiskinan yang akut karena tidak diurus negara. Bagaimana mungkin pemerintah bisa menyusun program yang tepat sasaran dan mampu menyejahterakan kalau potret nyata kemiskinan disembunyikan? Padahal, tolok ukur sebuah negara disebut naik kelas dalam tataran global adalah sejauh mana negara itu mengatasi kemiskinan. Itu karena kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan, kesulitan mengakses pelayanan kesehatan dan pelayanan publik, serta kurangnya lapangan pekerjaan yang dapat memberdayakan mereka.
Nasib orang miskin di negeri ini seperti dua sisi mata uang yang sangat kontras. Dalam pidato politik, mereka jadi alat untuk menaikkan citra, tetapi di satu hari lain, mereka disembunyikan dan dianggap aib karena bakal menjatuhkan kinerja.

PAUSE » Minuman dan Sakit Jantung
MENGONSUMSI dua kaleng minuman manis bersoda setiap hari selama tiga pekan dapat meningkatkan risiko terkena sakit jantung dan diabetes secara drastis. Hal itu terungkap dalam sebuah studi yang dipublikasikan di The American Journal of Clinical Nutrition baru-baru ini.
Para peneliti mengetes 29 pria sehat berusia 20 hingga 50 tahun. Selama tiga minggu, mereka diwajibkan mengonsumsi dua kaleng minuman manis bersoda berbagai merek. Hasil percobaan menunjukkan peningkatan level gula darah dan zat kimia yang terkait dengan penyakit jantung.
"Minuman tersebut membuat kolesterol jahat mampu menembus partikel-partikel kecil dalam tubuh dan menjadikan para relawan lebih rentan terhadap sakit jantung," kata peneliti. "Dengan mengonsumsi minuman itu dalam beberapa minggu saja sudah cukup untuk meningkatkan risiko penyakit tersebut," tambahnya. (TheSun/*/X-5)
















Republika, Sabtu, 25 Juni 2011
TAJUK » Lindungi Tenaga Kerja
Pemerintah akhirnya bersikap tegas. Mulai 1 Agustus mendatang, pemerintah memutuskan menghentikan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi. Sikap dan langkah ini menyusul kecaman dan kritik atas kelalaian pemerintah memberikan perlindungan hukum kepada Ruyati, TKI asal Bekasi, Jawa Barat, yang menjalani hukuman pancung di Arab Saudi.
Langkah pemerintah atas perlindungan TKI ini memang terlambat. Sudah sejak lama pemerintah menutup mata terhadap kasus-kasus yang menimpa warganya di luar negeri. Ruyati bukan TKI pertama yang lolos dari perlindungan pemerintah. Data Kementerian Luar Negeri sepanjang 2009–2011 memperlihatkan ada tiga TKI yang dieksekusi mati. Malah, sebanyak 303 TKI terancam hukuman mati di luar negeri.
Miris dan menyedihkan. Nasib TKI, terutama sekali tenaga kerja wanita (TKW), memprihatinkan. Di beberapa negara, khususnya di wilayah Timur Tengah, nasib TKI mirip seperti ‘budak’. Sayangnya, para pemimpin negeri ini hanya bisa beretorika, janji demi janji, bahkan dalam ajang kampanye, nasib mereka dijual dan dijadikan sebagai ajang untuk mendapat pencitraan diri.
Entah berapa banyak para TKI ini diperlakukan seperti itu. Mereka mengalami pelecehan seksual, dianiaya, disiksa, tak diberi gaji, bahkan ada yang dibunuh. Namun, pemerintah hanya diam dan malah sibuk mencari kambing hitam.
Ini terbukti dari tudingan Pemerintah Arab Saudi. Mereka menuduh Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa berbohong soal permintaan maaf negaranya ketika Ruyati dieksekusi. Kita tahu bahwa selama ini pemerintah sering kali reaksioner dan minimalis ketika menangani permasalahan TKI.
Berkaca dari kejadian yang terjadi, kita mendesak pemerintah untuk bersikap tegas dalam melindungi warganya, khususnya TKI. Gelar ‘pahlawan devisa’ yang sering kali diucapkan oleh para pimpinan negeri ini hanyalah kamuflase untuk menyenangkan para TKI. Padahal, yang mengambil untung hanyalah pemerintah dan para pengusaha agen pengiriman TKI beserta jaringan mafianya.
Selain itu, keberadaan TKI di luar negeri ternyata tidak hanya mendatangkan keuntungan secara ekonomi, tetapi juga implikasi sosial yang cukup tinggi. Selama ini citra Indonesia di beberapa negara sangatlah rendah. Di Arab Saudi dan Malaysia, dua negara yang banyak didatangi TKI, harga diri orang Indonesia sangatlah rendah sehingga dalam setiap hubungan diplomasi, Indonesia tak pernah dipandang sama sekali.
Kita berharap pemerintah punya keberanian untuk berhadapan dengan negara-negara yang mempekerjakan TKI. Sudah jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang TKI, antara lain, diatur bahwa TKI harus ditempatkan ke negara-negara yang melindungi buruh migran dan yang mempunyai nota kesepahaman. Artinya, ke depan, pemerintah tidak hanya menghentikan pengiriman tenaga kerja, tetapi menyediakan lapangan kerja dan mengatur perlindungan warganya yang bekerja di luar negeri.



Seputar Indonesia, Sabtu, 25 Juni 2011
Whistle Blowing, Fitnah, dan Cari Selamat
Pada Rabu kemarin seorang sahabat mengirim pesan kepada saya. ”Sebaiknya Anda tak ikut-ikut mengkritik pemerintah, fokuslah pada pembenahan tugas yudikatif dan membersihkan korupsi di lingkungan lembaga yang Anda pimpin.
Jangan sampai ada whistle blower (peniup peluit) yang ingin membantu untuk mengungkap korupsi di lembaga Anda malah dikriminalisasi,” demikian pesan itu. Pesan itu bukan hanya benar, melainkan juga bijak. Saya memang punya penyakit sulit diam dan suka terpancing oleh wartawan untuk mengkritik siapa pun yang menurut saya harus dikritik, meski masalahnya tak terkait langsung dengan tugas saya.
Jadi, pesan sahabat itu benar dan bijak. Benar dan bijak juga isi pesan itu bahwa seorang whistle blower atau pemberi informasi dan pelapor terjadinya tindak pidana harus dilindungi, jangan malah didorong ke situasi sulit karena dikriminalisasi, misalnya dituduh membuat berita bohong.
Tetapi terkait dengan whistle blowing, tanpa bermaksud meremehkan kebijakan dan nilai mulia dari pesan itu haruslah dipahami bahwa sebenarnya kita belum memiliki undang-undang tentang perlindungan bagi whistle blower. Yang kita miliki barulah UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang secara yuridis- konseptual tidak sama dengan whistle blower.
Meskipun begitu,demi cara berhukum yang beradab,kita harus terima keniscayaan melindungi whistle blower itu tanpa harus ada undang- undang resmi lebih dulu. Tetapi harus diingat, whistle blowing itu berbeda dengan fitnah. Whistle blowing adalah informasi terjadinya tindak pidana yang diungkap atau dilaporkan oleh seorang pengungkap (whistle blower) kepada yang berwenang atau yang berwajib agar diproses secara hukum.
Data informasinya harus akurat, laporannya harus resmi dan jelas, bukan dipidatokan atau disiarkan di media massa padahal belum ada bukti pendukungnya. Jika ada dugaan tindak pidana yang tak didukung bukti, tidak dilaporkan ke institusi yang harus bertindak dan langsung diumumkan ke publik melalui tulisan terbuka; maka hal itu jauh dari konsep yuridis tentang whistle blowing, namun cenderung memfitnah dan merongrong.
Memang bisa saja pengumuman ke publik yang tak dilaporkan langsung itu bukan fitnah dan ada benarnya. Maka itu, whistle blower yang seperti itu harus tetap dilindungi, tetapi tetap harus menjernihkan dan turut membuktikan apa yang diumumkannya kepada publik tentang terjadinya tindak pidana itu.
Caranya, beri dia fasilitas untuk membuktikan dengan caranya sendiri disertai jaminan perlindungan keamanan, baik selama maupun sesudah melakukan upaya menggali bukti-bukti itu. Kalau ternyata hasilnya hanya fitnah dan sensasi yang merongrong maka si whistle blower harus bertanggung jawab, sekurang-kurangnya secara moral, dengan mengakui bahwa apa yang diumumkannya kepada publik tidak benar.
Bagi saya, laporan yang disampaikan secara diam-diam segera ditindaklanjuti secara diam-diam, sedangkan yang dilaporkan ke publik harus pula diselesaikan secara terbuka kepada publik. Saya kira inilah cara bernegara dan berhukum yang beradab, beradab bagi yang terkena fitnah dan beradab bagi yang (mungkin) memfitnah.
Masih ada soal lain yang terkait dengan whistle blowing ini. Saya menyetujui pendapat para hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa seorang pelapor yang terlibat dalam kejahatan yang dilaporkannya tetaplah harus dikenai sanksi pidana, meskipun––atas kebijaksanaan hakim, hukumannya bisa diberi keringanan.
Seperti diketahui, pada medio tahun 2010 MK memeriksa pengujian (judicial review) isi UU Perlindungan Saksi dan Korban terhadap UUD 1945. Pemohonnya meminta agar MK membatalkan sebagian isi UU tersebut sepanjang ketentuan bahwa orang yang melaporkan terjadinya kejahatan yang turut dilakukannya tetap bisa dihukum, meskipun bisa diberi keringanan.
Pemohonnya menginginkan agar pelapor atas kejahatan yang ikut dilakukannya harus dibebaskan dari hukuman. Saya mendukung pendapat para hakim MK yang menolak permohonan itu. Kalau pelapor terjadinya suatu kejahatan yang ikut dilakukannya dibebaskan dari hukuman maka bisa membuka kemungkinan munculnya pelapor yang mengaku sebagai whistle blower, tetapi sebenarnya hanya mencari selamat secara tidak fair.
Misalnya, bisa saja ada orang melakukan kejahatan secara bersama-sama, kemudian melaporkan kejahatan itu dengan tujuan dia sendiri selamat dari hukuman, sedangkan teman-temannya dihukum. Hal seperti ini tentu bertentangan dengan asas maupun tujuan hukum, bahkan bisa menjadi celah munculnya orang yang mengajak orang lain untuk melakukan tindak pidana, untuk kemudian, setelah hasil kejahatan selesai dia melaporkan orangorang yang diajaknya melakukan kejahatan.
Memang ada pendapat lain bahwa jika pelapor tentang kejahatan yang ikut dilakukannya masih dihukum juga maka kejahatan akan sulit diungkap karena tidak akan ada orang yang mau menjadi whistle blower.
Pandangan seperti ini, menurut saya, tidak sesuai dengan filosofi perlindungan bagi whistle blower sebab argumennya tetap lebih lemah jika dibandingkan dengan risiko munculnya pelapor yang hanya ingin mencari selamat dari hukuman atas kejahatan yang ikut dilakukannya dengan mengorbankan orang-orang lain yang ikut atau diajak melakukan kejahatan itu. MOH MAHFUD MD, Guru Besar Hukum Konstitusi

Quote of the day »
Aturan pertama: jangan kalah. Aturan kedua: jangan lupakan aturan pertama.
-- Warren Buffett, investor dan industriawan Amerika Serikat


Koran Jakarta, Sabtu, 25 Juni 2011

Andalas, Sabtu, 25 Juni 2011

Haluan, Sabtu, 25 Juni 2011

Metro Siantar, Sabtu, 25 Juni 2011

Riau Pos, Sabtu, 25 Juni 2011

Lampung Post, Sabtu, 25 Juni 2011

Radar Jogja, Sabtu, 25 Juni 2011

Surya, Sabtu, 25 Juni 2011

Tribun Pontianak, Sabtu, 25 Juni 2011

Banjarmasin Post, Sabtu, 25 Juni 2011

Tribun Kaltim, Sabtu, 25 Juni 2011

Manado Post, Sabtu, 25 Juni 2011

Bali Post, Sabtu, 25 Juni 2011
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger