Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Editorial Surat Kabar, Senin, 8 Februari 2010

TAJUK RENCANA

Buruk dan Kurang Buruk

Isu terakhir yang muncul adalah soal perombakan kabinet. Isu itu serius karena dilontarkan antara lain oleh Sekjen Partai Demokrat Amir Syamsuddin.

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga mengutarakan hal serupa. Isu perombakan kabinet atau reshuffle dikaitkan dengan sikap anggota DPR dari partai koalisi, Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera, yang posisi, peran, dan pengaruh politiknya signifikan.

Masalahnya pelik karena penyebab isu pergantian menteri adalah karena sikap anggota DPR kedua partai yang konsisten dan vokal dalam pengusutan kasus Bank Century. Semakin seru dan sensitif jika sikap anggota partai koalisi itu diinteraksikan dengan adanya unjuk rasa antidana talangan Bank Century. Kita bayangkan rumitnya permasalahan. Terhadap beberapa adegan demo saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sensitif, apalagi terhadap sikap vokal dari anggota partai koalisi di parlemen.

Bisa dipahami jika terhadap perkembangan itu kita bertanya diri, seraya menarik napas panjang, ”Ah, ada-ada saja persoalan menimpa kita.” Permasalahan yang menimpa pemerintah menyangkut masalah sensitif berarti pula menimpa kita sebagai bangsa. Terasa lebih pelik dan sensitif karena pemerintah dengan partisipasi kita sebagai publik justru berkonsentrasi pada komitmen dan agenda bersama lebih cepat dan lebih merata menyelenggarakan kesejahteraan bagi semua warga.

Dari Bapak Bangsa dan pemimpin politik periode permulaan kemerdekaan, di antaranya Moh Roem dan IJ Kasimo, kita belajar kebijakan dan kebajikan. Di antaranya yang disebutnya sebagai minus malum, the lesser evil, atau antara pilihan buruk dan kurang buruk. Seberapa jauh masalah yang kita hadapi sekarang ini merupakan contoh kasus yang masuk dalam kategori itu. Suatu kasus yang menempatkan kita pada pilihan ”yang buruk dan yang kurang buruk”.

Tampak jelas beberapa unsur dan dimensi permasalahan dan pilihannya meskipun disertai berbagai kelemahan. Kiranya lebih baik jika pemerintahan ini berlangsung terus sesuai periode konstitusionalnya. Perbaikan personalia dalam kabinet dipertimbangkan karena sejumlah menteri memang kurang meyakinkan kemampuannya. Akan tetapi, koalisi tetap diperlukan kelanjutannya. Kasus Bank Century diteruskan penanganannya dengan disertai komitmen bersama terhadap sikap bersama: keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.

Untuk mendapatkan koalisi, apalagi memperkuat dan membuatnya lebih efektif, diperlukan kekompakan dan kepemimpinan yang percaya diri, efektif, dan efisien. Koalisi bertugas untuk mendukung dan membuat terselenggaranya pemerintahan yang kompak dan berwibawa itu.

Pandangan dan pendapat itu kita kemukakan atas keprihatinan kita menghadapi beragam persoalan dewasa ini. Keprihatinan disertai sikap kita yang kritis-konstruktif. sebab masalah itu adalah masalah kita bersama.

Soal Kecemasan G-7

Pertemuan tujuh negara industri maju yang bergabung dalam Grup 7 dijadikan ajang untuk meredam kecemasan atas dampak krisis keuangan global.

Kecemasan memang masih merebak luas di kalangan negara anggota G-7 atas pengaruh krisis keuangan global. Dampak krisis keuangan global yang berawal di negara maju sendiri, bahkan dimulai di negara adidaya Amerika Serikat, memang masih terasa di mana-mana.

G-7 yang beranggotakan AS, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, Italia, dan Kanada dalam pertemuan akhir pekan lalu di Iqaluit, Kanada, bertekad mengatasi kecemasan atas dampak krisis dengan mendorong paket stimulus ekonomi, termasuk mengatasi kredit macet masyarakat.

Efek penularan krisis keuangan global dirasakan di mana-mana di seluruh dunia, tidak terkecuali di negaranegara G-7. Namun, pukulan paling berat sebenarnya dirasakan negara-negara berkembang yang memang sumber daya keuangannya sangat terbatas.

Kebanyakan negara berkembang merasakan krisis keuangan global sebagai pukulan ganda. Bayangkan, sudah miskin ditimpa lagi oleh dampak krisis keuangan global. Dalam level berbeda, kerepotan itu dirasakan pula oleh negara-negara maju seperti Uni Eropa.

Kecemasan mulai merebak luas di kalangan Uni Eropa setelah Yunani dan kini Portugal dililit oleh defisit anggaran besar dan menghadapi masalah utang besar. Tidak gampang pula bagi Yunani dan Portugal mendapatkan pinjaman karena para tetangga di Uni Eropa juga perlu mengonsolidasi diri sebagai antisipasi menghadapi dampak penularan krisis.

Namun, mau tidak mau para pemimpin Uni Eropa harus memantau dan mencermati krisis yang sedang mengancam Yunani dan Portugal. Kegalauan ekonomi di kedua negara dikhawatirkan akan memberikan sentimen negatif terhadap nilai tukar euro dan pasar saham Uni Eropa.

Maka, anggota G-7 dari lingkungan Eropa Barat bertekad melakukan tindakan bersama untuk meredam kecemasan atas pengaruh krisis yang melanda Yunani dan Portugal dengan mendorong paket stimulus ekonomi.

Uni Eropa juga berkeyakinan, krisis ekonomi Yunani dan Portugal relatif mudah diatasi karena ukuran ekonomi kedua negara tergolong kecil. Meski demikian, potensi efek penularan krisis di kedua negara tidak dapat diabaikan.

Upaya penguatan ekonomi Yunani, Portugal, dan Uni Eropa secara keseluruhan tentu saja akan melapangkan jalan bagi usaha pemulihan krisis keuangan global secara keseluruhan. Sejauh ini AS memperlihatkan kemajuan dalam upaya pemulihan, tetapi kondisinya masih rawan.

Di tengah pergulatan Uni Eropa, G-7, dan adidaya AS menghadapi kesulitan ekonomi, di sisi lain dunia juga melihat fenomena berupa tampilnya pemain baru di panggung ekonomi global seperti China, India, dan Brasil.

EDITORIAL

Menuju Negara Seolah-olah

SEBUAH kenyataan yang mengkhawatirkan, bahkan sangat mengkhawatir, sedang menimpa negara ini. Kenyataan itu ialah Indonesia menuju negara seolah-olah. Seolah-olah itu terjadi dalam banyak hal dan celakanya menimpa berbagai aspek berbangsa dan bernegara yang strategis. Lebih celaka lagi, semua yang seolah-olah itu lama-lama diterima sebagai yang nyata, bahkan yang benar.

Sebutlah misalnya urusan perang melawan mafia peradilan. Cukup dengan membentuk sebuah tim, dan cukup sekali tim itu inspeksi mendadak ke ruang sel Ayin, mafia pun tumpas. Tepatnya, seolah-olah tumpas. Contoh lain menyangkut kinerja 100 hari pemerintahan. Dari sisi pemerintah suaranya merdu bahwa target tercapai, bahkan ada yang mengklaim mencapai 100%. Tapi dari sisi masyarakat suaranya sumbang, yaitu semua itu hanya seolah-olah tercapai. Puncaknya ialah berkembangnya kelakuan elite yang seolah-olah bertanggung jawab, padahal ramai-ramai cuci tangan.

Lihatlah soal pengucuran dana talangan Rp6,7 triliun kepada Bank Century. Saat pengambilan keputusan bailout, para pejabat Gubernur Bank Indonesia ramai-ramai ikut rapat. Komisi Keuangan di DPR juga ikut-ikutan memberikan dukungan atas keputusan tersebut. Kini, giliran kasus itu dipermasalahkan lewat Pansus Angket Bank Century, semua pemimpin ribut dan ironisnya ramai-ramai pula mereka cuci tangan.

Begitu pula halnya menyangkut berbagai kebijakan seperti pembelian pesawat kepresidenan, pengadaan mobil dinas pejabat negara, dan pembangunan pagar Istana Negara. Ketika kebijakan itu dipersoalkan di ruang publik, para pengambil keputusan itu satu per satu lempar batu sembunyi tangan. Siapakah yang bertanggung jawab, hanya seolah-olah ada.

Seolah-olah sebab tak seorang pun yang menampakkan batang hidung ketika kebijakan itu dipersoalkan. Setelah publik melupakan kasus itu, barulah mereka muncul dengan gagah perkasa memberi penjelasan. Celakanya, penjelasan itu diwarnai keseleo lidah, hingga tiga kali menyebutkan angka yang berbeda untuk harga mobil dinas.

Yang lenyap ialah watak kesatria. Itulah kualitas berani bertanggung jawab, berani mengakui kesalahan dengan jiwa besar. Tegar membongkar topeng sendiri, membongkar dunia seolah-olah. Itulah kualitas yang semestinya dimiliki elite yang disebut pemimpin. Tanpa pemimpin dengan kualitas itu, negara ini akan menuju negara seolah-olah. Negara dengan anomali, yaitu negara tetap berjalan sekalipun seolah-olah punya pemimpin.

EDITORIAL


Sang Kerbau Masuk Istana

Apa yang dipikirkan para demonstran ketika menghela seekor kerbau untuk memprotes Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Membuat Presiden kesal, ngambek, merasa tak dihargai, lalu mundur? Atau sekadar menarik perhatian publik sebagai yang pertama mengajak kerbau berunjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia?

Jawabannya tak terlalu penting. Kadang kala rasa gemas--karena satu dan lain sebab--bisa mendatangkan kegilaan mendadak. Hendry Mulyadi, seorang penonton sepak bola di Stadion Senayan, geregetan melihat pemain PSSI tak kuasa menandingi kesebelasan Oman. Ia melompati pagar, masuk lapangan hijau, merebut bola dari kaki pemain PSSI, dan menggiringnya sampai gawang lawan--sebelum diringkus petugas.

Seandainya pun Hendry mencetak gol, ia sangat waras untuk tahu "gol"-nya tak mengubah apa-apa. Bila publik terkesan bersimpati padanya, itu lantaran ia "mewakili" perasaan orang banyak yang kecewa atas permainan PSSI.

Siapa pun yang menghadirkan kerbau di Bundaran HI, dia pasti tahu kabinet tak akan goyang. Si penggeret kerbau mendapat banyak liputan media, barangkali ada juga sebagian masyarakat yang terwakili aspirasinya--karena urusan Bank Century yang digerujuk Rp 6,7 triliun, pagar mahal Istana, mobil mewah menteri, atau isu lain.

Si pemrotes tak akan mendapat lebih dari itu. Malah, bagi yang antipati, ide nakal itu bisa dipandang berbalik menuding demonstran sendiri. Bila "bapak" negeri disamakan dengan kerbau, tentunya demonstran, yang "anak-anak" negeri, adalah gudel--anak kerbau dengan kecerdasan jauh di belakang induknya.

Bisa jadi juga orang Toraja punya keberatan sendiri dengan dibawa-bawanya kerbau dalam demo. Sebab, bagi mereka, kerbau bukan binatang sembarangan. Karembau merupakan hewan paling penting dalam kehidupan sosial, ritual dan kepercayaan, bahkan alat ukur status sosial.

Kita tahu, protes memang lazim dilakukan dengan ekspresi dipompa habis. Maksudnya jelas: untuk merebut perhatian dan menciptakan tekanan agar pemerintah melakukan perbaikan sesuai dengan keinginan pemrotes. Tentu pemerintah punya kaki-tangan untuk menyaring protes yang punya dasar kuat dan mana yang asal njeplak. Perbaikan merupakan jawaban terbaik atas protes yang didukung fakta jelas.

Perlu disadari, perbaikan sebaik apa pun tak akan menyenangkan semua orang. Maka protes dan kritik akan selalu muncul. Tanpa ketahanan saraf yang terlatih, mereka yang menerima kritik akan mudah berkeluh kesah, gampang terpancing menumpahkan unek-unek, atau mulai tergoda untuk mengambil jalan "keras".

Sebaliknya, kritik yang disampaikan tanpa tata krama justru menurunkan mutu kritik itu. Salah-salah sang pemrotes malah terjerumus dalam urusan pidana. Meskipun Mahkamah Konstitusi sudah menghapus dua pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, masih tersedia sejumlah pasal untuk menghukum pelaku penghinaan. Bila Presiden terganggu, ia bisa mengadu ke polisi.

Maka bukan aturan lebih ketat yang diperlukan, melainkan cara komunikasi yang lebih sehat.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger