Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Editorial Surat Kabar, Selasa, 9 Februari 2010

EDITORIAL

Angket Century Goyang Koalisi

KOALISI tambun Kabinet Indonesia Bersatu II goyah. Angket Century yang memasuki babak akhir penelusuran dugaan skandal penjaminan Rp6,7 triliun oleh negara kepada sebuah bank sakit, Century--kini Bank Mutiara--menggoyang kabinet yang baru berusia 112 hari.

Partai Demokrat, sebagai pemimpin koalisi, menggertak akan merombak kabinet karena dalam pembahasan angket Century, anggota koalisi, khususnya Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Golkar, bertindak seakan-akan partai oposisi. Reshuffle kabinet dikabarkan telah dibicarakan petinggi Demokrat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pansus Century dibentuk untuk membuka kebenaran secara terang benderang. Pansus disepakati karena ada keraguan yang luas dan mendalam terhadap kebenaran dan kejujuran motivasi penggelontoran uang negara sebanyak Rp6,7 triliun kepada sebuah bank kecil bermasalah yang dikhawatirkan berdampak sistemik itu.

Koalisi dibentuk di antara partai-partai politik untuk memperkuat posisi kekuasaan dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pemerintahan dengan tekad seperti itu adalah pemerintahan yang ingin mempertahankan kebenaran yang sebenar-benarnya. Tidak boleh ada kebenaran yang abu-abu. Kebenaran harus diperlihatkan dengan terang benderang.

Pada titik itu kepentingan pansus dan koalisi sesungguhnya bertemu. Tetapi mengapa menjadi pertikaian yang mengarah ke reshuffle? Apakah kebenaran versi Partai Demokrat bertentangan dengan kebenaran versi Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Golkar?

Dalam politik, ternyata, kebenaran itu bersyarat. Sebuah kebenaran akan menjadi kebenaran jika disuarakan oleh mayoritas. Itulah sesungguhnya yang menyebabkan oposisi yang kuat menjadi penting. Koalisi yang superkuat akan berpotensi kuat juga untuk memanipulasi kejahatan menjadi kebenaran.

Di mata Golkar dan PKS tidak ada kebenaran yang dicari dan terkuak dalam Pansus Century yang bertentangan dengan kebenaran yang disepakati koalisi. Dengan demikian adalah sangat keliru ketika mengaitkan kebenaran yang diyakini Golkar dan PKS dengan kesepakatan alokasi kursi kabinet.

Ketika suasana kebatinan publik mulai mengarah kepada siapa yang salah dan siapa yang benar dari penyelidikan pansus selama ini, sangat fatal jika terjadi pemaksaan politik untuk mengakui kebenaran versi tertentu. Apalagi kebenaran yang hendak dipaksakan itu bertentangan dengan akal sehat yang dicerna publik selama ini.

Entah mengapa Partai Demokrat yang tenang dan santun belakangan mulai tersandung secara beruntun. Kelihatan para petinggi partai itu mulai terpenjara oleh proyeksi kebenaran mereka sendiri. Terpenjara oleh koalisi yang terlalu tambun dan sekarang terpenjara lagi oleh Pansus Century.

Penjara semakin gerah ketika ancaman perombakan disambut dengan tawa ria oleh PKS dan Golkar. Koalisi adalah kesepakatan elegan untuk membangun pemerintahan yang kuat, bukan berkomplot untuk mengatur kebenaran.


TAJUK RENCANA

Mengakhiri Perang 60 Tahun


Kalau saja pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menjadi kenyataan, ini akan menjadi langkah awal bagi perdamaian di Timteng.

Hari Minggu lalu Netanyahu mengatakan, pihaknya terbuka untuk mengadakan perundingan perdamaian dengan Suriah. Kalau perundingan itu terjadi, dan kemudian tercapai kesepakatan di antara kedua negara untuk berdamai, berakhirlah permusuhan kedua negara sejak terlibat perang pada 1948.

Akan tetapi, kita semua paham bahwa perdamaian tidak cukup hanya dikatakan, perdamaian tidak cukup hanya dengan kehendak, perdamaian tidak cukup dengan mimpi-mimpi indah, perdamaian membutuhkan tindakan nyata, membutuhkan pengorbanan kedua belah pihak.

Mantan Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar pernah mengatakan, ”Perdamaian adalah sebuah kata yang mudah diucapkan dalam setiap bahasa. Sebagai Sekretaris Jenderal PBB, saya mendengarkan ucapan kata perdamaian berkali-kali dari begitu banyak mulut yang berbeda-beda dan dari sumber-sumber yang berbeda-beda pula sehingga kadang-kadang perdamaian bagi kami menjadi mantra umum yang sudah kehilangan maknanya. Lalu apa yang kita maksudkan dengan perdamaian itu?”

Khusus tentang perdamaian antara Israel dan Suriah, bukan kali ini saja pernyataan seperti yang dikemukakan Netanyahu itu dikemukakan. Atas upaya komunitas internasional, beberapa kali tercapai kesepakatan damai. Namun, upaya membuahkan perdamaian selalu kandas karena kekuatan damai selalu disaingi ekstremisme. Mayoritas diam yang menginginkan damai menjadi korban sia-sia setiap kali pecah aksi kekerasan.

Penyelesaian masalah Israel-Suriah terhalang dua hal. Pertama, ketidaksepakatan mengenai batas final kedua negara. Ini termasuk wilayah Dataran Tinggi Golan yang direbut dan diduduki Israel setelah perang 1967.

Kedua, keterikatan dengan masalah Lebanon. Sejak penandatanganan Deklarasi Oslo yang diikuti kesepakatan damai Israel-Jordania setahun kemudian, klaim one for all, all for one yang dibawa Suriah dalam proses perdamaian Arab-Israel praktis tidak bisa digunakan.

Suriah, misalnya, mempertahankan Lebanon tetap di bawah pengaruhnya meskipun mereka sudah secara resmi keluar dari negeri itu. Hal itu yang antara lain mendorong Israel untuk juga selalu bersoal dengan Lebanon, dengan Hezbollah di Lebanon bagian selatan.

Terlepas dari itu semua, mendorong terciptanya dialog antara Israel dan Suriah perlu dilakukan. Jika hal itu terjadi di antara kedua negara, itu akan mengurangi ketegangan di Lebanon, dan pada gilirannya akan menjadi mendorong terciptanya perdamaian antara Israel dan Palestina.

Sebuah jalan panjang memang, tetapi harus dilakukan.

***

Masa Depan Jurnalisme

Perubahan dahsyat dewasa ini sedang mengepung industri pers dan—seiring dengan itu juga— jurnalisme. Kini, komunitas pers sudah lebih beragam.

Lebih beragam bukan saja karena medium berbeda, tetapi juga karena genre dan orientasi yang dipilih juga beragam. Dinamika masyarakat dan perkembangan teknologi menjadi penggerak utamanya.

Dari sisi masyarakat, dinamisme pers memberi pilihan menyenangkan. Ibaratnya, mau mendapat berita jenis apa, dan akan diperoleh dengan medium apa, termasuk di mana dan kapannya, semua demikian fleksibel.

Tantangan lebih berat justru ada dalam industri media dan praksis jurnalismenya. Dari sisi industri, analis industri media mencatat adanya sejumlah perkembangan baru. Misalnya saja terkait dengan makin nyatanya grup industri pers yang lebih bersosok multimedia, yang didukung oleh penerbitan cetak, radio, televisi, dan online (dalam jaringan atau daring).

Perkembangan ini tentu saja memunculkan pertanyaan, yang sebenarnya sudah cukup lama kita dengar, misalnya bagaimana dengan kelanjutan bisnis media cetak. Kita yakin, isu ini pula yang akan menjadi salah satu tema utama perayaan Hari Pers Nasional di Palembang 9 Februari.

Dari sejumlah konferensi internasional tentang media muncul pandangan, meski ada gelombang besar perubahan, media konvensional khususnya koran masih tetap memiliki harapan untuk tetap eksis. Hanya saja, media cetak harus pintar-pintar merespons dinamika perubahan yang ada.

Sebagaimana disinggung dalam tulisan pakar teknologi informasi Onno Purbo tentang dunia internet kita (Kompas, 8/2/2010), dewasa ini yang sedang menjadi tren adalah berita atau konten yang dibangkitkan oleh konsumen (atau pengguna media daring dalam jagat internet). Fakta itu kiranya juga disadari oleh pengelola media cetak sehingga pandangan editors know best tidak tepat lagi, demikian pula kebijakan redaksional berciri top-down, satu arah.

Berikutnya, dari sisi jurnalisme sendiri juga sudah muncul tren baru. Jurnalisme warga, yang mencerminkan jurnalisme partisipatif, semakin kuat sosoknya. Dan Gillmor dalam bukunya, We, the Media, menyebut istilah grassroot journalism, by the people, for the people.

Merangkul media baru juga satu keniscayaan karena daya dan pengaruhnya semakin besar. Pembelaan terhadap Prita, Bibit-Chandra, juga dorongan bagi pengungkapan tuntas kasus Bank Century, adalah beberapa contohnya.

Pengguna media baru juga terus bertambah, terutama didorong oleh makin dewasanya generasi digital, yang cara mendapatkan beritanya lebih bertumpu pada gadget daripada media konvensional. Sebagai generasi yang diistilahkan grown-up digital, mereka juga menulis blog, melahirkan apa yang disebut peer-to-peer journalism. Ini memberi tantangan serius terhadap media arus utama, juga terhadap redaktur dan reporternya.

Komunitas pers sungguh mendapat banyak menu refleksi ketika merayakan Hari Pers Nasional kali ini.

EDITORIAL

Tertibkan Parkir di Jakarta

Gubernur DKI Jakarta tidak boleh ragu menindak pengelola parkir yang menaikkan tarif secara sepihak. Aksi nekat ini tidak hanya merugikan publik, tapi juga melecehkan pemerintah daerah. Tindakan tegas harus diambil, misalnya dengan mencabut izin pengelolaan parkir.

Pelanggaran itu dilakukan para pengelola parkir di beberapa mal di Ibu Kota dengan modus beragam. Umumnya, mereka mematok tarif parkir dua jam pertama dua kali lipat dari ketentuan. Sesuai dengan aturan, tarif parkir mobil penumpang adalah Rp 2.000 untuk dua jam pertama dan Rp 1.000 untuk tiap jam berikutnya. Dalam praktek, pengelola mematok tarif Rp 4.000 untuk dua jam pertama dan Rp 2.000 buat tiap jam tambahan.

Ada juga penyimpangan lain yang jarang disadari masyarakat, yakni mengenakan tarif parkir bagi kawasan non-komersial, seperti sekolah dan rumah sakit, sama besarnya dengan tarif parkir bagi kawasan pertokoan atau mal. Jenis pelanggaran seperti ini terjadi bertahun-tahun tanpa sanksi tegas. Padahal ketentuan mengenai perparkiran, termasuk tarifnya, telah diatur jelas dalam Peraturan Gubernur Nomor 48 Tahun 2004 dan Peraturan Daerah DKI No. 1 Tahun 2006.

Ketidaktegasan pemerintah Jakarta juga terlihat dalam menangani parkir liar. Dua tahun lalu, petugas penertiban dengan garang menggembok roda mobil yang parkir di tempat terlarang. Hasilnya lumayan. Kawasan yang semrawut akibat banyaknya mobil dan sepeda motor parkir sembarangan menjadi rapi. Sayangnya, tindakan tegas itu cuma berlangsung sebulan-dua bulan.

Sikap seperti itulah yang membuat pengelola parkir berani menaikkan tarif seenaknya. Mereka berani melanggar karena belum ada contoh pengenaan sanksi serius. Jangankan sanksi kurungan sesuai dengan ketentuan peraturan daerah, sanksi denda pun jarang terdengar.

Itu sebabnya, sekarang pemerintah Jakarta harus lebih konsisten dan berani. Sanksi tegas bukan hanya penting dikenakan pada pelanggar, tapi juga agar yang lain tidak berani bermain-main. Apalagi bisnis parkir bukanlah bisnis kecil. Nilai setoran bisnis ini ke pemerintah daerah mencapai Rp 20 miliar dalam setahun. Maka bisa dibayangkan keuntungan pengelola, apalagi risiko usaha dan biaya operasi mereka tergolong kecil.

Di sisi lain, pemerintah daerah harus segera merevisi Perda DKI No. 1 Tahun 2006. Banyak celah dalam peraturan ini yang bisa dimainkan. Misalnya, tidak adanya ketentuan mengenai valet parking. Akibatnya, pengelola bebas menerapkan tarif valet parking seenaknya, dari Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu sekali parkir.

Cara penetapan tarif parkir pun harus diubah. Penerapan sistem rayon, yang kini sedang digodok, mungkin lebih adil. Dengan sistem ini, maka di daerah padat, macet, dan komersial, tarif parkir digenjot dua kali lipat. Sebaliknya, di daerah sepi, misalnya pinggiran kota, tarif diturunkan.

Jika dilakukan dengan cermat, penertiban parkir dan tarifnya akan memberikan manfaat ganda bagi pemerintah Jakarta. Pertama, pendapatan parkir yang tetap melimpah. Kedua, mengurangi kemacetan karena orang akan enggan membawa mobilnya ke kawasan padat akibat tarif parkir yang mahal.

PERSPEKTIF

Akses Harus Terbuka


Koin atau uang recehan kini telah menjadi fenomena. Uang yang kadang kala dianggap tidak penting itu menjadi amat berharga, bahkan memiliki fungsi baru.

Selain sebagai alat tukar, koin memiliki fungsi sosial, yakni sebagai alat untuk mewujudkan solidaritas. Setelah koin untuk Prita Mulyasari, kini muncul lagi aksi solidaritas untuk membantu bayi berusia 17 bulan, Bilqis.

Uang recehan dikumpulkan untuk membantu pengobatan bayi yang menderita kelainan empedu tersebut. Akibat kelainan itu, Bilqis harus menjalani tranplantasi ginjal. Tentu saja biaya yang dibutuhkannya sangat besar, diperkirakan mencapai 1 miliar rupiah lebih.

Orang tua Bilqis yang terbilang tidak mampu hanya bisa pasrah menghadapi cobaan tersebut. Namun, masyarakat tidak tinggal diam. Mengetahui ada warga yang kesulitan seperti itu, munculah ajakan untuk membantu meringankan beban mereka.

Koin kembali menjadi solusi, dan muncullah gerakan mengumpulkan koin untuk Bilqis. Berbondong-bondong orang datang menyerahkan koin mereka.

Tua, muda, miskin, kaya, semuanya datang membawa koin yang mereka punyai, termasuk anak-anak yang dengan suka rela menyerahkan celengan mereka. Dalam waktu singkat, terkumpulah uang sekitar 1,3 miliar rupiah.

Ini memecahkan rekor pengumpulan koin sebelumnya untuk Prita Mulyasari yang mencapai sekitar 1 miliar rupiah. Fenomena koin untuk Prita menunjukkan solidaritas masyarakat untuk memperoleh keadilan di mata hukum.

Masyarakat berupaya melawan pengadilan yang dianggap tidak adil dengan menjatuhkan hukuman kepada Prita hanya karena menulis keluhan melalui surat elektronik.

Fenomena itu berulang, kali ini untuk menunjukkan solidaritas masyarakat dalam memperoleh layanan kesehatan. Bilqis adalah gambaran warga miskin yang sulit mendapat akses pelayanan kesehatan.

Masyarakat boleh jadi apatis terhadap pelayanan yang diberikan pemerintah. Bukan rahasia lagi jika pelayanan kesehatan untuk rakyat miskin sangatlah tidak memadai.

Kalaupun ada, akses untuk mendapatkannya sulit sekali, berbelit-belit. Karena itu, mereka mencari cara sendiri, yakni mengumpulkan koin.

Tentu kita tidak memungkiri bahwa pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan untuk warga miskin dalam bentuk jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Persoalannya adalah, pada praktiknya, di lapangan, pelayanan itu sulit diperoleh.

Pemerintah mengakui sampai sekarang masih ada masalah menyangkut kepesertaan dan pelayanan Jamkesmas. Artinya, tidak semua rakyat miskin memperoleh pelayanan itu. Penyebabnya antara lain sosialisasi program yang belum berjalan baik.

Akibatnya, sebagian peserta tidak tahu hak dan kewajiban mereka. Pemberi pelayanan kesehatan dan sumber daya manusianya juga belum memahami pedoman pelaksanaan dan petunjuk teknis penyelenggaraan Jamkesmas.

Di situlah persoalan antara lain bermuara. Pelayanan pemerintah untuk rakyat miskin sangatlah berbelit.

Birokrasi amat panjang sehingga menyulitkan rakyat miskin untuk mendapatkannya. Sebelum mendapatkan layanan kesehatan itu, warga miskin harus terlebih dulu mendapat konfirmasi dari berbagai pihak bahwa mereka tergolong miskin.

Proses itulah yang kadang kala membuat warga frustrasi. Sebab, di satu sisi, mereka dihadapkan pada persoalan nyawa yang harus segera diselamatkan.

Di sisi lain, mereka harus menempuh birokrasi berbelit untuk mendapatkan akses ke rumah sakit agar nyawa itu terselamatkan.

Tidak heran bila masyarakat apatis terhadap layanan dari pemerintah. Fenomena koin Bilqis harus menjadi pemicu bagi pemerintah untuk membuka seluas-luasnya akses layanan kesehatan.

Penambahan anggaran yang sudah dilakukan pemerintah saat ini harus menyentuh semua penduduk miskin. Ini harus dilakukan karena bagaimanapun masih banyak Bilqis lain di negeri ini.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger