Fiktif belaka memang ihwal perjalanan manusia menjelajahi masa lalu. Secara logika, megoreksi sejarah (sampai saat ini) masih berupa khayalan. “Tahukah kamu apa yang paling jauh dari bumi ini?” Tanya Al-Ghazali kepada murid-muridnya. Yang paling jauh dari bumi, lanjut Sang Imam, adalah masa lalu kita. Kita tak mungkin mengembalikan waktu silam. Tentu petuah ini dalam konteks kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu. Namun, kalau boleh berseloroh, sejauh apa pun masa lalu itu, pada suatu saat, akan kita capai (juga). Dalam arti harfiah tentu saja. Maksudnya, dengan izin-Nya tentu, manusia akan mencapai suatu teknologi yang memungkinkan memutar kembali arah waktu. Berlebihankah?

Itu kisah fiksi. Namun, sefiktif apa pun sebuah cerita sering pula dilatarbelakangi sejumlah fakta. Seorang tentara Amerika dengan atribut tentara zaman Perang Saudara (pertengahan abad XIX), tiba-tiba muncul di tengah Amerika awal abad XX. Ia tampak kebingungan. Yang ada di ingatannya: ia baru saja tertembak lawan dan sejurus kemudian sudah berada di tempat dan waktu yang tidak dikenalnya….
Ihwal kebenaran dua kisah tersebut tentu masih diperselisihkan. Namun, siapa yang akan menyangkal kebenaran kisah yang termaktub dalam beberapa Kitab Suci. Dalam Al-Quran, setidaknya ada dua kisah tentang perjalanan manusia menjelajahi waktu. Nabi Uzair melintasi masa seratus tahun ke depan untuk membuktikan Kuasa Allah Swt dalam menghidupkan kembali negeri yang telah porak poranda. Demikian pula dengan Ashabul Kahfi yang ditakdirkan-Nya tertidur selama 309 tahun untuk melompati masa-masa pemerintahan tiran Decianus....
Kita tentu tidak sedang memperdebatkan tentang bisa tidaknya mengoreksi sejarah. Mungkin saja kita—dengan teknologi tertentu--bisa menyunting jalan hidup kita. Namun, kita tetap (saja) terkungkung oleh garis-Nya.
Intinya memang tentang kesempatan kedua. Ketika sebagian orang menafikan tentang kesempatan ini, seyogianya kita tetap optimistis. Berbaik sangkalah kepada Sang Pencipta. Justru kita sendiri yang harus menstimulus kesempatan kedua tersebut. Tidak peduli masa lalu kita sekelam apa, yakinkan beberapa saat ke depan adalah kesempatan kedua kita: untuk memperbaiki segalanya. Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Hari esok harus diniatkan lebih baik dari hari ini.
Mudah-mudahan kita senantiasa diberi kesempatan oleh-Nya….
(Rumah Kreatif Dixi, 9-10-2009)