Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Susahnya untuk Tidak Memihak


Kemarin, beberapa jam sebelum laga puncak Liga Champions berlangsung, saya sempat mengajak teman-teman dan keluarga untuk bersikap netral. Artinya, tidak memihak salah satu tim: Barcelona atau MU. Toh, kita tidak sedang bertaruh. Pun tak ada pengaruhnya untuk kita jika salah satu tim itu menggondol piala. Mereka nun jauh di sana, tak akan menghiraukan kita. Kita di sini, bukan di Barcelona atau Manchester; sama sekali tidak ada hubungannya dengan suatu fanatisme kedaerahan. Jadi, menontonlah selayaknya wartawan atau pengamat yang harus netral. Nikmati saja atraksi mereka di lapangan dengan penuh ketenangan jiwa....

Beberapa saat menjelang kick off... kekhawatiran tiba-tiba menyeruak. Terus terang saya khawatir partai final ini tidak berjalan semestinya. Saya takut partai yang digadang-gadang sebagai final impian ini akan berlangsung antiklimaks. Hanya demi mengejar kemenangan, kedua tim akan mengambil jalan aman. Bukan apa-apa, saya sempat menyaksikan beberapa event final yang tidak enak ditonton: permainan monoton, cenderung defensif, dan diakhiri dengan tos-tosan adu penalti. Sungguh kurang menarik. Namun, saya masih menaruh harapan. Setidaknya kubu Barca sebelumnya berjanji akan tetap menyuguhkan keindahan sepak bola. Saya juga percaya kick and rush a la Inggris akan tetap ditampilkan MU. Mudah-mudahan.

Tibalah kick off... kekhawatiran kian memuncak. Tiba-tiba saya takut... takut Barcelona kalah! Lho!? Bukankah saya sendiri yang menganjurkan bersikap netral. Nah di sinilah sisi manusiawi begitu saja muncul. Manusia tetap manusia: makhluk yang berkecenderungan. Betapa susahnya untuk bersikap netral; tidak memihak salah satu kubu. Hal ini tampaknya berlaku juga dalam setiap sendi kehidupan. Setiap manusia mempunyai latar dan pengalaman yang beragam. Dari sisi inilah mungkin yang menjadi cikal-bakal untuk tidak bersikap netral. Dengan demikian, jangan pernah meminta penjelasan mengapa seseorang cenderung lebih memilih tim anu, caleg fulan, partai anu, capres dan cawapres fulan, dan sebagainya.

Sebagaimana sulitnya menjelaskan mengapa saya lebih memilih Barca daripada MU. Jika alasannya ada Messi (notabene pemain timnas Argentina yang selalu saya jagokan sejak kecil), tentu saya juga akan mendukung MU yang memainkan Tevez. Soal permainan tim, Barca memang bermain indah dan MU pun jika pada top performanya juga sangat enak ditonton. Jika bicara soal keprigelan manajer dalam menata tim, tentu saya lebih menjagokan Fergie yang lebih berpengalaman daripada Guardiola. Mungkin juga karena Barca sering memainkan 4-3-3 yang mau tidak mau akan mengingatkan saya pada formasi Persib zamannya Adjat tempo doeloe. Atau gara-gara warna kostum yang membuat jatuh hati? Sungguh tidak ada penjelasan yang pasti.



Saya jadi teringat akan laga puncak Champions musim 1998-1999. Ketika itu justru saya cenderung memihak MU dan menganggap Bayern Muenchen di pihak lawan. Betapa khawatirnya saat menjelang akhir pertandingan, MU masih tertinggal satu gol. Pada saat tidak ada harapan untuk menang, tiba-tiba suatu skenario Tuhan berlaku: dua gol untuk MU berturut-turut tercipta persis di injury time. Sulit dipercaya. Perasaan lega melenturkan urat syaraf yang sedari tadi menegang. Kelegaan itu begitu dahsyat. Inilah tampaknya seninya memihak. Memihak itu adalah sebuah romantika. Saya percaya ini bentuk kenikmatan lain yang telah diciptakan Sang Khalik. Wallahu a’lam.

(Dari catatan tercecer 28 Mei 2009, pukul 11:58)
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger