|
|
EDITORIAL » Pemimpin dan Krisis
KRISIS kerap menjadi basis jatuh bangunnya seorang pemimpin. Kemampuan mengelola krisis sangat berbanding lurus dengan masa jabatan sang pemimpin, apakah tetap bertahan atau kemudian bertumbangan. Celakanya, banyak pemimpin yang memperlihatkan ketidakbecusan mengatasi krisis.
Itulah yang membuat sejumlah pemimpin pemerintahan di Eropa berjatuhan. Krisis utang yang melanda Eropa mengakibatkan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi dan Perdana Menteri Yunani George Papandreou harus rela melepaskan jabatan mereka, pekan ini.
Nasib PM Berlusconi dan PM Papandreou hanya menambah panjang daftar tumbangnya pemimpin pemerintahan di Eropa, yang sejak 2008 dilanda krisis moneter. Sebelumnya, PM Irlandia Brian Cowen, PM Portugal Jose Socrates, dan PM Slowakia Iveta Radicova sudah berguguran.
Bila di Eropa pemimpin pemerintahan berjatuhan akibat krisis utang negara yang terus menggunung, di belahan dunia lain, seperti di kawasan Arab dan Afrika Utara, pemimpin bertumbangan lantaran krisis politik.
Gelombang yang menuntut perubahan dan demokrasi di kawasan itu membuat sejumlah pemimpin seperti Presiden Tunisia Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarak terpental dari tampuk kekuasaan. Nyawa pemimpin Libia Moamar Khadafi bahkan melayang saat ditumbangkan rakyatnya.
Krisis, apa pun bentuk dan penyebabnya, harus dihadapi seorang pemimpin.
Keberanian menjadi salah satu faktor kunci bagi sang pemimpin dalam menghadapi setiap krisis. Pemimpin tidak boleh takut, apalagi lari dari berbagai macam krisis.
Berada di tengah krisis jelas ikut menentukan. Tengoklah, misalnya, keputusan PM Thailand Yingluck Shinawatra yang memilih urung menghadiri KTT APEC di Honolulu, Hawaii, akhir pekan ini agar bisa berada di tengah rakyatnya yang sedang dilanda krisis banjir.
Bencana banjir di Thailand memang benar-benar memorak-porandakan 'Negeri Gajah Putih' itu. Banjir yang melanda sejak Juli itu telah menewaskan sedikitnya 500 orang, menghancurkan ribuan rumah, merendam Bangkok, dan melumpuhkan pusat-pusat bisnis.
Itu sebabnya langkah PM Yingluck untuk tetap berada di Thailand agar bisa menolong rakyatnya yang sedang kesusahan jelas langkah yang tepat.
Ancaman banjir sesungguhnya tidak cuma melanda Thailand. Sejumlah kawasan di Asia Tenggara seperti Vietnam juga telah diterjang banjir. Indonesia pun rawan banjir, terutama Jakarta.
Persoalannya, bagaimana sikap pemimpin di negeri ini jika banjir menjelma menjadi bencana atau krisis yang dahsyat? Celakanya, mereka justru saling menyalahkan atau saling lempar tanggung jawab.
Tak jarang bahkan banyak pemimpin, baik di daerah maupun pusat, memilih jalan-jalan ke luar negeri ketimbang membantu rakyat yang sedang kesusahan. Padahal, kehadiran dan keberanian pemimpin itulah yang dibutuhkan rakyat di tengah krisis yang terjadi.
PAUSE » Bayi 15 Bulan Bisa Rasakan Keadilan
TAHUKAH Anda, bayi yang baru berumur 15 bulan ternyata sudah dapat merasakan keadilan. Penelitian di Universitas Washington baru-baru ini mendapatkan hasil tersebut setelah memperlihatkan kepada bayi tayangan 47 video dua orang dewasa yang berebut biskuit dan susu.
Saat video berputar, peneliti mengamati ekspresi bayi. Dari pengamatan itu, peneliti menilai bayi yang terkejut dengan peristiwa tersebut akan menatap adegan rebutan lebih lama ketimbang mereka yang biasa saja. Perhatian 92% dari bayi yang diikutkan dalam penelitian itu terpaku pada adegan rebutan kue dan susu.
"Hasil ini menunjukkan hubungan antara keadilan dan perasaan cinta terhadap sesama yang dirasakan bayi," ujar peneliti Jessica Sommerville. (Livescience/Medicmagic/*/X-5)