Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Tangan Tuhan

| Kliping | Catatan Sepak Bola oleh Sindhunata | Kompas | Senin, 23 November 2009 |

Alangkah kejamnya ”tangan Tuhan” itu. Tahun 1986, ia menjelma dalam diri Diego Maradona, ketika Argentina berhadapan dengan Inggris di Stadion Azteca, Meksiko, pada perempat final Piala Dunia 1986. Menit ke-51, Jorge Valdano memberikan umpan lambung. Umpan itu disambut Maradona, bukan dengan kepala atau kakinya, tapi dengan tangannya.

Dan pada hari itu jatuh putusan yang kejam: wasit asal Tunisia, Ali bin Nasser, menganggap gol Maradona di gawang Inggris yang dijaga kiper Peter Shilton itu sebagai gol yang sah. Mau apa? Gol tangan Tuhan memang mahakuasa. Inggris hanya bisa menangis.

”Tangan Tuhan” itu datang kembali. Kali ini ia juga datang pada sebuah pertandingan hidup dan mati, yang menentukan siapakah yang akan ke final Piala Dunia 2010, Perancis atau Irlandia. Dan menjelmalah ”tangan Tuhan” itu ke dalam kapten Thierry Henry. Dalam perpanjangan waktu, Henry mengontrol bola dengan tangannya, lalu memberikan umpan kepada William Gallas, dan Gallas pun menceploskan bola ke gawang Irlandia.

Jatuh lagi putusan yang kejam: wasit asal Swedia, Martin Hansson, mengesahkan gol tersebut. ”Tiket kami ke Afrika Selatan telah dirampok,” kata bek Irlandia, Sean St Ledger. Mau apa? Itulah ”gol tangan Tuhan” yang mahakuasa. FIFA pun tidak dapat membatalkannya, dan mempersilakan Perancis ke Piala Dunia 2010.

Tampaknya jika ”Tuhan” masuk ke lapangan bola, ”Dia” hanyalah bisa berarti kemahakuasaan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan kebenaran mutlak yang tak dapat diganggu gugat. Ataukah ”Tuhan” demikian itu dipanggil ketika manusia-manusia bola sudah tidak tahu lagi bagaimana bicara mengenai kekuasaan, kewenangan, keadilan, dan kebenaran?

Menarik untuk memerhatikan ucapan Louis van Gaal, yang baru-baru ini sempat menimbulkan sorotan kritis dari kolumnis Florian Illies dari majalah Zeit (5/11/2009). Pelatih FC Bayern Muenchen itu sempat mengeluarkan kata-kata, ”Saya seperti Tuhan. Saya tidak pernah sakit dan selalu benar.”

Kata-kata itu diucapkan Van Gaal dalam konteks di mana kepercayaan anak buahnya sedang goyah. Van Gaal perlu menegaskan dirinya. Tidak hanya itu. Terkait dengan ucapannya itu, ia juga bilang, ”FC Bayern Muenchen itu seperti diri saya: sadar diri, dominan, arogan, serius, inovatif, tapi juga hangat dan ramah.”

Illies menulis, ucapan Van Gaal itu seharusnya memicu debat teologis yang serius tentang gambaran Tuhan yang dimiliki agama Kristiani selama ini.

Syukurlah Van Gaal sempat tergelincir untuk mengatakan hal itu. Sebab, dalam kata-kata Van Gaal terumuskan kembali dengan kurang lebih tepat gambaran Tuhan menurut orang Kristen selama ini. Tidakkah sejak teolog Agustinus di zaman awal gereja, agama Kristen mempunyai gambaran tentang Tuhan seperti yang diungkapkan oleh Van Gaal itu, yakni Tuhan yang selalu benar, sadar diri, dominan, arogan, serius, walau katanya Ia juga inovatif, hangat, dan ramah?

Gambaran tersebut kiranya belum mencakup siapakah Tuhan itu sesungguhnya. Namun, de facto, gambaran tersebut, lebih-lebih gambaran Tuhan yang dominan, arogan, sadar diri, dan serius hidup berabad-abad lamanya dalam diri orang Kristen. Sulit, orang terbebas dari gambaran tersebut.

Ini menunjukkan, benarlah kritik filsuf Ludwig Feuerbach terhadap agama, khususnya agama Kristen, yakni Tuhan yang absolut itu sesungguhnya adalah buah pikiran dari manusia sendiri. Kesadaran Tuhan adalah kesadaran diri manusia, dan pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan diri manusia. Kehakikatan Tuhan tak lain tak bukan adalah kekodratan manusia sendiri.

Jika sekarang orang mempunyai Tuhan yang sadar diri, dominan, arogan, kejam, dan selalu benar, itu sesungguhnya tak lepas dari ciri manusia yang menciptakan-Nya, yaitu manusia yang terlalu sadar diri, dominan, arogan, bengis, dan menganggap diri selalu benar. Celakanya, gambaran manusia tentang Tuhan ini akhirnya menciptakan Tuhan yang seakan memang demikian. Dan demi Tuhannya itu, orang pun lalu bertindak dominan, arogan, keras, bengis, dan suka memaksakan kebenarannya sendiri kepada orang lain.

Sudah saatnya gambaran Tuhan yang demikian itu dikoreksi sehingga diperoleh gambaran Tuhan yang berkebalikan dengan semuanya itu, yakni Tuhan yang lemah lembut, penuh kerahiman, pengampunan, belas kasih, dan cinta. Namun, tidak mudahlah mengoreksi gambaran Tuhan itu. Maklum, dunia kita ini seperti dunia bola. Yang ada dalam bola akhirnya adalah persaingan, kemenangan, kekuasaan, dan kejantanan.

Persaingan menciptakan dominasi. Kemenangan menciptakan arogansi. Kekuasaan menciptakan ketidakadilan. Dan kejantanan menciptakan kekerasan. Seorang Louis van Gaal tak ingin terus mengalah di bawah dominasi seorang ”Kaisar” Franz Beckenbauer atau chairman Karl Heinz-Rummenigge. Siapakah yang dapat mengalahkan kaisar atau chairman yang sekuasa dan sehebat itu, kecuali ”Tuhan”. Mungkin karena itulah Van Gaal menyatakan dirinya selalu benar seperti Tuhan.

Thiery Henry tahu, bola melarang orang bermain dengan tangan. Toh, ia melakukannya. Maklum, ia harus memperoleh kemenangan dengan cara apa saja, kalau perlu juga dengan ketidakjujuran ”tangan Tuhan”.

Itulah sisi gelap dari dunia bola. Syukurlah, sisi itu pernah muncul dan sempat memantulkan kembali situasi diri kita yang nyata: kita, manusia yang suka membuat gambaran Tuhan yang sama sekali salah, dan atas nama gambaran yang salah itu kita juga bertindak yang salah, yakni arogan, dominan, keras, tidak jujur, tak tahu diri, dan menganggap diri benar sendiri. ***


Detik menentukan setelah Thierry Henry (tengah) mengontrol bola dengan tangannya. Bola yang berubah arah dengan cepat diumpan ke William Gallas dan menjadi gol yang meloloskan Perancis ke Piala Dunia 2010.(Kompas; foto:AP PHOTO/MICHEL EULER)


Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger