| Kompas | Sabtu, 24 April 2010 |
Berita Utama
Bisnis & Keuangan
Humaniora
International
Opini
Politik & Hukum
Nusantara
Metropolitan
Olahraga
Sumatera Bagian Selatan
Sumatera Bagian Utara
Yogyakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
| Media Indonesia | Sabtu, 24 April 2010 |
EDITORIAL
Kepala Daerah, Korupsi, dan Zina
DEMOKRASI sejatinya memberi keleluasaan kepada warga negara untuk dipilih menjadi kepala daerah. Sampai titik ini kita semua bersepakat. Akan tetapi, demokrasi bukanlah keleluasaan tiada batas. Demokrasi meniscayakan berbagai persyaratan bagi warga negara untuk dapat dipilih menjadi kepala daerah. Pada titik inilah kita bersengketa pendapat.
Adalah Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang melontarkan persyaratan tambahan, yakni berpengalaman di pemerintahan serta tidak cacat moral bagi warga negara yang ingin bertarung memperebutkan kursi kepala daerah.
Gamawan bahkan mendefinisikan tidak cacat moral sebagai tidak pernah berzina. Hal itu kontan memicu silang pendapat.
Ide Gamawan itu tampaknya muncul sebagai tanggapan atas minat artis Julia Perez mencalonkan diri sebagai kandidat Wakil Bupati Pacitan dan artis Maria Eva sebagai kandidat Wakil Bupati Sidoarjo. Julia Perez dan Maria Eva memang tidak punya pengalaman di bidang pemerintahan, kecuali di pentas perdangdutan. Dari sisi moral, Julia Perez acap tampil seksi, sedangkan untuk Maria Eva video mesumnya bersama seorang mantan anggota DPR sempat beredar dan menghebohkan masyarakat.
Jika dua syarat yang dilontarkan Gamawan itu kelak diakomodasi dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjadi korban bukan hanya Julia Perez dan Maria Eva, melainkan umumnya warga negara yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Bukankah mayoritas warga negara tidak memiliki pengalaman di pemerintahan? Syarat itu hanya akan menguntungkan kalangan birokrat. Itu artinya prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi persamaan kepada warga negara untuk dipilih sebagai kepala daerah terlanggar. Lagi pula, kepala daerah yang punya pengalaman di pemerintahan tak selamanya berhasil dan sebaliknya, tak sedikit kepala daerah yang berasal dari wiraswasta justru berhasil menjalankan roda pemerintahan.
Bagaimana dengan syarat calon kepala daerah tidak pernah berbuat zina? Itu urusan yang sulit sekali dicari buktinya, atau indikatornya. Daripada mensyaratkan hal yang sulit diukur, lebih baik mensyaratkan yang bisa dibuktikan, yang lebih konkret. Misalnya, kandidat tidak pernah korupsi.
Persyaratan tidak pernah korupsi penting karena kita jengah menyaksikan sejumlah kepala daerah menjadi pesakitan akibat korupsi. Tengoklah betapa tak eloknya wajah pemerintahan di Kota Medan, Provinsi Sumatra Utara, yang tak memiliki wali kota dan sebentar lagi tak memiliki gubernur akibat sang wali kota dan pak gubernur menjadi tersangka korupsi.
Yang kini perlu kita lakukan adalah mendorong partai politik mencalonkan kandidat yang sungguh-sungguh memiliki kapabilitas dan tidak bermoral korup ketimbang mencalonkan kandidat yang sekadar memiliki popularitas atau duit. Kita juga perlu melakukan pendidikan politik pada rakyat untuk memilih kandidat yang punya kapabilitas serta punya riwayat bersih. Bukan kandidat yang punya popularitas dan duit semata.
PAUSE: Merkuri pada Sushi Buatan Restoran
SUSHI tuna buatan restoran ternyata mengandung merkuri lebih besar ketimbang sushi siap saji yang dijual supermarket. Pasalnya, sushi tuna di supermarket umumnya dibuat dari spesies tuna sirip kuning (Thunnus albacares). Tuna spesies itu diketahui memiliki kandungan merkuri lebih rendah jika dibandingkan dengan spesies lainnya. "Kami menemukan kandungan merkuri berhubungan erat dengan spesies yang spesifik," ujar Jacob Lowenstein, peneliti National Fisheries Institute.
Penelitian dilakukan dengan cara mengambil sampel sushi tuna dari 54 restoran dan 15 supermarket di New York, New Jersey, dan Colorado secara acak. Hasilnya hampir semua sushi dari berbagai spesies tuna mengandung merkuri. Tetapi kandungan lebih tinggi terdapat pada ikan tuna mata besar dan bluefin akami. Kedua spesies itu banyak dijadikan santapan di restoran karena tekstur dagingnya tidak berlemak.
"Sejauh ini, mayoritas negara tidak mewajibkan restoran memberi tahu jenis ikan apa yang dijual. Padahal informasi itu penting bagi konsumen untuk mengontrol kadar merkuri yang mereka konsumsi," jelas Lowenstein.(Mps/HealthDay News/X-9)
| Koran Tempo | Sabtu, 24 April 2010 |
| Seputar Indonesia | Sabtu, 24 April 2010 |
| Surya | Sabtu, 24 April 2010 |
| Radar Jogja | Sabtu, 24 April 2010 |
| Sriwijaya Post | Sabtu, 24 April 2010 |
| Pontianak Post | Sabtu, 24 April 2010 |
| Tribun Kaltim | Sabtu, 24 April 2010 |
| Bali Post | Sabtu, 24 April 2010 |