Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Koran Tempo, Selasa, 2 Februari 2010


Editorial: Mengabaikan Buruh Migran

Komitmen pemerintah melindungi buruh migran perlu dipertanyakan. Tiada keinginan sungguhsungguh untuk meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar memang telah memasukkan rencana ini dalam program seratus hari, tapi baru sebatas membentuk tim pengkaji. Padahal inilah kunci perlindungan bagi buruh migran, termasuk para pekerja kita di luar negeri.

Sikap menunda-nunda ratifikasi ini amat mengherankan karena Indonesia telah meneken kesepakatan Organisasi Buruh Sedunia (ILO) tersebut pada 2004.
Inilah konvensi yang memberikan perlindungan maksimal bagi buruh migran dan keluarganya, termasuk pembantu rumah tangga. Pada era pertama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, urusan ini belum tuntas. Kini sungguh keterlaluan jika pemerintah yang sama menelantarkannya lagi.

Pemerintah selalu beralasan bahwa ratifikasi tidak otomatis melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Cara berpikir seperti ini amat dangkal. Justru karena pemerintah belum mengadopsi isi konvensi buruh migran dalam perundang-perundangan, kita tak memiliki kekuatan untuk mendesak negara seperti Malaysia. Bagaimana mungkin Indonesia meminta agar TKI dilindungi di luar negeri jika kita sendiri tidak peduli nasib buruh migran di dalam negeri?
Dengan melaksanakan kesepakatan dunia itu sebetulnya akan mendorong pula reformasi rekrutmen TKI. Proses ini tidak bisa dianggap sepele karena 80 persen persoalan pekerja asal Indonesia justru bermula dari pengiriman yang serampangan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI tak cukup melindungi mereka. Artinya undang-undang ini harus direvisi jika pemerintah meratifikasi konvensi itu.

Pemerintah juga berdalih, ratifikasi Konvensi Buruh Migran hanya menguntungkan buruh asing di Indonesia. Misalnya mereka menjadi bebas mendirikan serikat pekerja. Alasan ini mengada-ada karena tidak ada yang perlu ditakutkan seandainya mereka berorganisasi. Apalagi Undang-Undang Dasar 1945 memang menjamin hal ini. Di situ jelas dinyatakan "setiap orang"(dan bukannya setiap warga negara) bebas berserikat dan berkumpul.

Seharusnya pemerintah menuntaskan persoalan penting ini dibanding sibuk mengurusi program yang serba instan. Menteri Muhaimin Iskandar tak perlu terlalu repot menghitung jumlah balai kerja yang diperbaiki atau jumlah TKI bermasalah yang dipulangkan. Ini merupakan kewajiban rutin yang sebenarnya tidak layak menjadi andalan program seratus hari.

Publik menginginkan adanya gebrakan atau setidaknya pijakan yang kukuh bagi program lima tahun depan. Jika sampai kini Pak Menteri tidak bisa memberi kepastian apakah pemerintah akan meratifikasi Konvensi Buruh Migran, tentu orang tidak bisa berharap banyak. Khalayak akan membayangkan munculnya program yang hanya tambal sulam yang tidak akan banyak mengubah nasib buruh migran.

Buruh migran, begitu pula TKI, akan tetap telantar.
Padahal konstitusi jelas menjamin bahwa setiap orang berhak mendapatkan imbalan, perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger