Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Editorial Surat Kabar, Sabtu, 6 Februari 2010

EDITORIAL

Kisah Diana dan Tiga Anaknya


Kisah Nyonya Diana yang menelantarkan anakanaknya seharusnya menampar kita semua. Ibu berusia 23 tahun ini terpaksa mengunci tiga anaknya yang masih kecil selama berhari-hari di rumah kontrakan karena harus mencari uang. Kenapa tak ada yang menyantuni? Komitmen pemerintah untuk menyelamatkan keluarga miskin pun dipertanyakan.

Diana tidak tinggal di pelosok nun jauh di pulau terpencil. Ia menetap di Kelurahan Petir, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Untuk mencapai tempat ini dari Istana Presiden di Jakarta hanya dibutuhkan waktu kurang dari dua jam perjalanan.

Sudah dua pekan Diana ditelantarkan suaminya, dan ia mesti berutang kepada para tetangga untuk menyambung hidup. Karena tak kuat menanggung beban, pada 30 Januari lalu, ia memutuskan keluar dari rumah untuk bekerja di sebuah diskotek. Tiga anaknya, yakni Rafael (3,5 tahun), Farel (1,8 tahun), dan Putri (9 bulan), yang saat itu tidur lelap, ia tinggalkan terkunci di dalam rumah.

Diana meninggalkan pesan kepada suaminya, yang tinggal terpisah, agar merawat ketiga anak itu. Tetapi nasib pesan itu tak jelas--entah terbaca atau tidak oleh suaminya. Akibatnya, ketiga anak malang itu telantar selama tiga hari sebelum diselamatkan tetangganya. Mereka dapat bertahan karena memakan kulit pisang.

Polisi yang menangani kasus ini patut diacungi jempol karena tidak memakai pendekatan hukum. Diana, yang kemudian kembali ke rumah, memang sempat diperiksa di kantor polisi, tetapi prosesnya tak dilanjutkan. Diana bahkan kemudian diantar ke panti asuhan tempat anaknya dirawat sementara. Pendekatan kemanusiaan yang dipilih polisi sudah tepat, karena akar persoalan ini bukan kriminal, melainkan kemiskinan.

Ini sungguh tamparan telak bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Negara jelas tak bisa lepas dari tanggung jawab. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 tercantum "fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara". Pemerintah, yang bertugas menyelenggarakan kehidupan bernegara, terikat dengan konstitusi tersebut. Diana dan warga miskin lain berhak mendapat perlindungan dari pemerintah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukan tak paham soal itu. Buktinya, dalam pidato pelantikan tahun lalu, dia menegaskan salah satu agenda terpentingnya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jumlah warga miskin saat ini mencapai 32,5 juta orang (14,2 persen). Pemerintah kemudian menggelar berbagai program populis, seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai dan beras untuk warga miskin. Tapi program instan semacam ini mengandung banyak kelemahan. Selain sering tidak tepat sasaran, aksi ini hanya menyelesaikan problem jangka pendek.

Pemerintah harus memperbaiki strateginya mengatasi kemiskinan. Apalagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial memungkinkan adanya reposisi atas program bantuan dan jaminan sosial menjadi perlindungan dan jaminan sosial. Untuk program ini, Kementerian Sosial sudah menyiapkan dana Rp 1,8 triliun pada 2010. Agar program menjadi efektif, pengawasan harus dilakukan secara ketat, termasuk oleh masyarakat. Kasus Diana dan tiga anak balitanya haruslah menjadi yang terakhir.

TAJUK RENCANA 

Wacana Kepentingan Publik

Rencana kenaikan gaji menteri/ pejabat negara dan mobil dinas menteri senilai Rp 1,3 miliar per unit tetap jalan. Unjuk rasa terus terjadi.

Pansus Century terus jalan. Masing-masing sibuk. Sejumlah contoh ini menunjukkan masing-masing tidak terusik.

Keprihatinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang cara-cara unjuk rasa sepintas lewat. Selebihnya jalan terus. Pengunjuk rasa, ketika diimbau jangan mengajak hewan berunjuk rasa, akan ditanggapi dengan kreatif. Setelah ayam, kerbau, serta cara-cara berunjuk rasa yang berkesan tidak beradab dan meninggalkan tata krama ketimuran, imbauan polisi ibarat adrenalin terus kreatif.

Kesannya pemerintah dan rakyat jalan sendiri-sendiri. Pemerintah menyatakan program 100 hari sukses 99 persen. Rakyat dan wakil rakyat menyatakan gagal, menyatakan sukses dengan catatan. Sementara itu, sikap Presiden lebih risau atas cara berunjuk rasa dan bukan materi unjuk rasa, sibuk menjawab tidak mungkin menyejahterakan rakyat dalam waktu tiga bulan.

Pada saat yang sama, dengan dalih sudah dianggarkan, rencana-rencana yang bernuansa kurang peka-peduli kesulitan rakyat tetap jalan. Dua di antaranya kenaikan gaji menteri dan mobil dinas menteri.

Begitu sibuknya perhatian pemerintah dengan unjuk rasa dan Pansus Century, sampai-sampai lupa pekerjaan rumah dalam konteks Indonesia sebagai warga dunia dengan negara-negara lain yang tak kalah sibuk memanfaatkan kelemahan kita.

Taruhlah contoh, ketika sudah bertahun-tahun rencana perdagangan bebas Asia ditetapkan, kita baru ngeh ketika kemudian produk China membanjir.

Fenomena bertemunya sejumlah tokoh nasional dalam ormas Nasional Demokrat tentu berangkat dari keprihatinan. Memang tidak bisa tidak termuat agenda setiap peserta untuk merestorasi Indonesia. Entah karena kecewa atas keadaan, entah untuk target 2014, dan entah-entah yang lain, tetapi kehadiran ormas ini setidaknya menawarkan teguran alternatif.

Hikmah teguran alternatif itu serba mengingatkan. Mengingatkan bahwa kekuasaan untuk kepentingan rakyat sehingga preferensi kepemimpinan harus menepis kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok. Bahwa bobot pemerintahan terletak pada bagaimana menjadikan kepentingan rakyat sebagai batu penjuru dan bukan ikut-ikutan mengeluh.

Nasib rakyat yang semakin merasa jauh dari perhatian wakil-wakil mereka yang dari hari ke hari menyuguhkan pentas teater demokrasi. Ketertinggalan perhatian rakyat semakin lengkap. Revolusi atau pemakzulan? Tentu bukan jalan keluar semudah itu.

Dengan revolusi kita harus kembali ke titik nol. Lantas apa? Banting setir! Jadikan rakyat batu penjuru perhatian dan kebijakan, plus jangan memunggungi rakyat!


Singapore Airshow dan Indonesia

Dari sisi perhelatan, tidak menjadi soal kalau Indonesia tidak bisa lagi menyelenggarakan pameran kedirgantaraan atau airshow.

Namun, dari Pameran Kedirgantaraan Singapura (Singapore Airshow), kita bisa merenung banyak. Ini karena kita melihat satu pameran kedirgantaraan bukan sekadar arena untuk menggelar aneka pesawat terbang, berjualan, atau unjuk gigi dalam kepiawaian menerbangkan jet tempur.

Sebaliknya kita melihat pameran kedirgantaraan sebagai satu totalitas ekspresi identitas, visi, orientasi, dan sekaligus pencapaian dalam kedirgantaraan. Konteksnya di sini juga bukan saja dalam penguasaan teknologi, melainkan juga dalam pendayagunaan karya teknologi dirgantara untuk kejayaan ekonomi dan berikutnya kejayaan bangsa.

Jika kita bisa memulai wacana ini dari segi geografi, boleh jadi hanya sedikit negara di dunia yang begitu pas untuk dirgantara, dan dari yang sedikit itu salah satunya adalah Indonesia.

USA Continental masih menawarkan perjalanan seluruh jarak sepanjang 5.000 kilometer dengan otomobil. Namun, dengan dua pertiga wilayahnya laut, Indonesia akan terasa begitu terpadu dan bergerak cepat hanya jika kedirgantaraannya maju.

Dari arena Pameran Kedirgantaraan Singapura 2010 kita mendapat banyak ungkapan yang membesarkan hati bahwa ada maskapai penerbangan di Tanah Air yang kini memperlihatkan komitmen serius dan kinerja bagus untuk membuat industri penerbangan berkembang. Ini pengakuan yang besar artinya setelah beberapa tahun lalu citra penerbangan kita terpuruk.

Tantangan masih besar. Itu karena kalaupun kini kita ingin dan mampu mengelola maskapai lebih baik, pengadaan jet komersial berharga sekitar Rp 1,5 triliun untuk jenis yang bisa menerbangi Eropa nonstop menjadi tantangan finansial riil saat dunia masih krisis dan ekonomi kita belum tumbuh baik.

Di bidang pesawat tempur kita juga masih harus berupaya keras untuk membangun armada Angkatan Udara yang modern dan kredibel. Kita tentu bermimpi kalau sekarang mengidamkan jet generasi mutakhir, seperti Joint Strike Fighter F-35 Lightning II. Akan tetapi, setidaknya di sini harus hidup visi tentang kekuatan udara seperti apa yang layak untuk mempertahankan negara besar ini.

Yang juga ingin kita garis bawahi adalah perlunya kita melanjutkan industri kedirgantaraan nasional. Dua tahun silam masih ada CN-235 MPA yang hadir di Changi. Kini, tak satu pun produk Indonesia yang tampil. Ini kemunduran, lebih-lebih jika dibandingkan kehadiran industri kedirgantaraan nasional pada era 1980-an dan 1990-an.

Dari arena Pameran Kedirgantaraan Singapura kita ingin menemukan kembali jati diri bangsa, meresapkan ungkapan ”nenek moyangku bangsa pelaut, anak-cucuku insan dirgantara”.

EDITORIAL 

Bank Pemborosan Daerah

ASAS kehati-hatian adalah harga mati dalam dunia perbankan. Asas itu membuat bank bekerja mengalirkan dana melalui sistem transaksi secara hati-hati, cermat, dan efisien sehingga menghasilkan pertumbuhan dengan nilai lebih yang optimal.

Yang terjadi pada beberapa bank pembangunan daerah (BPD) justru sebaliknya. Kasus terakhir menunjukkan betapa bank dapat menjadi sapi perah bagi kepentingan penguasa daerah.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu telah menyelidiki enam BPD dan menemukan aliran dana kepada pejabat daerah sebesar Rp360 miliar selama 2002-2008.

Dana tersebut mengalir dari sedikitnya enam BPD berupa pemberian imbalan atau fee kepada pejabat daerah terutama gubernur dan bupati. Keenam BPD itu ialah Bank Jabar-Banten yang memberikan imbalan Rp148,287 miliar, Bank Jatim Rp71,483 miliar, Bank Sumut Rp53,811 miliar, Bank Jateng Rp51,064 miliar, Bank Kaltim Rp18,591 miliar, dan Bank DKI Rp17,075 miliar. Pemberian fee yang terungkap itu, memang, masih menjadi kontroversi.

Perdebatan tentang fee itu legal atau ilegal masih terus berlangsung. Tarik-menarik soal apakah pejabat penerima fee dari BPD wajib mengembalikannya kepada negara atau tidak juga masih alot.

Yang berpihak pada aturan-aturan pemberantasan korupsi melihat pemberian itu merupakan praktik yang menerabas UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang ketentuan gratifikasi. Bahwa fee BPD kepada kepala daerah setali tiga uang dengan suap. Karena itu, baik pemberi maupun penerimanya harus dihukum setimpal.

Para penerima uang negara itu melihat aturan yang jelas dan gamblang tersebut secara abu-abu. Bahwa dasar hukum mengenai hal itu belum jelas. Lagi pula tidak ada perintah yang tegas dari Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengembalikannya.

Terlepas dari jelas atau tidaknya aturan soal fee itu, yang pasti uang negara sudah keluar secara tidak patut. Praktik tersebut pun telah berlangsung puluhan tahun.

Dana BPD adalah uang rakyat yang dialokasikan untuk mendorong pembangunan daerah. Fungsinya untuk menggerakkan roda ekonomi di daerah, meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah. Ia bukan uang pribadi para pejabat daerah untuk bancakan, dibagi-bagi sebagai fee.

Sungguh sangat tidak patut jika pejabat daerah justru mempraktikkan modus menjadikan badan usaha milik negara sebagai sapi perah. Karena itu, KPK harus mengusut tuntas kasus pemberian fee itu.

Berlakukan saja ketetapan UU Nomor 20/2001 bahwa itu adalah gratifikasi sehingga seluruh penerima dana tersebut harus mengembalikan atau berurusan dengan hukum. Selanjutnya, hentikan praktik pemberian uang itu dalam bentuk dan nama apa pun.

BPD harus dikembalikan fungsinya sebagai lembaga keuangan profesional. Ia tidak boleh menjadi badan intermediasi upeti bagi pejabat daerah untuk menikmati rente dan korupsi terselubung. Kalau masih tetap begitu, lebih baik namanya diubah saja menjadi bank pemborosan daerah.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger