Kerbau Gara-Gara
KERBAU yang diberi nama SiBaYu sesungguhnya tidak mencari gara-gara. Tetapi gara-gara kerbau yang ternyata sudah tiga kali ikut demonstrasi di Jakarta dan kini berubah nama menjadi Lebay itu, seantero negeri jadi heboh. Si Lebay kemarin oleh penyewanya, Jose Rizal, sudah dibawa dari Bekasi untuk berdemonstrasi lagi di Bundaran Hotel Indonesia. Namun, langkah Lebay terhenti oleh polisi yang mencegat di Kalimalang, Jakarta Timur. Lebay pun pulang kandang.
Masyarakat yang menyaksikan seekor kerbau dilibatkan dalam demonstrasi 28 Januari lalu sesungguhnya menganggapnya sebagai kegenitan para demonstran saja. Kalau ada yang serius, aspek keselamatan demonstran yang dikhawatirkan. Karena si kerbau ketika itu kelihatan mudah diatur dan bersahabat, polisi kala itu membiarkannya.
Namun, ternyata kehadiran kerbau itu menjadi soal besar bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di hadapan rapat kerja kabinet yang juga dihadiri para gubernur se-Indonesia di Istana Cipanas, Selasa (2/2), SBY merasa tersinggung berat. Tersinggung karena kerbau dihadirkan dengan semangat konotatif terhadap dirinya.
Yang ingin digugat SBY dengan curahan hatinya di hadapan para peserta rapat kerja itu adalah dimensi etis dari sebuah demonstrasi. Apakah demonstrasi yang merupakan hak menyatakan pendapat rakyat dan dilindungi undang-undang kebal terhadap semua dimensi kepatutan?
Itulah pertanyaan yang sekarang menyulut pro dan kontra. Dan itu juga pro dan kontra yang untuk kesekian kali muncul dari kebiasaan SBY akhir-akhir ini yang rajin mengeluh ke hadapan publik.
Kita semua harus memiliki posisi berdiri yang sama tentang demokrasi dan demonstrasi. Orde Baru melarang demonstrasi karena pemerintah tidak siap menghadapi semua konsekuensinya. Rakyat juga dianggap tidak siap berdemokrasi.
Tatkala kita mengusung demokrasi dengan kebanggaan penuh, kita suka atau tidak suka dianggap siap menerima dengan seluruh konsekuensinya. Sebuah pemerintahan yang membolehkan demonstrasi adalah pemerintahan yang tidak tipis kuping dan tidak supersensitif. Para pemimpinnya siap diolok-olok dan diejek di jalan-jalan dengan segala bentuk alegori yang disimbolkan rakyatnya karena kekecewaan.
Namun, negara yang membolehkan demonstrasi adalah negara yang mampu menegakkan hukum. Membakar foto seorang presiden dan lambang-lambang negara adalah perbuatan melanggar hukum sekaligus melanggar kepatutan.
Sayangnya, penegak hukum kita tidak mampu tegas terhadap apa yang patut dan apa yang tidak. Apa yang dilanggar dan apa yang tidak. Juga, partai-partai politik tidak mampu melakukan pendidikan politik terhadap konstituennya untuk memahami apa yang patut dan apa yang tidak. Politik masih dikendalikan oleh kepentingan yang membolehkan segala cara.
Dulu banyak yang bersepakat bahwa mengobral posisi ketersudutan adalah politik pencitraan SBY untuk meraih simpati. Namun, politik pencitraan harus menghormati dosis. Bila seorang presiden terus-menerus mengeluh kepada rakyatnya, keluhan itu akan berubah menjadi sinisme. Kalau Presiden terus mengeluh kepada rakyatnya, kepada siapa lagi rakyat mengeluh?
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2010/02/04/121064/70/13/Kerbau-Gara-Gara
EDITORIAL
Perlawanan Grup Bakrie
Gugatan praperadilan Grup Bakrie terhadap Direktorat Jenderal Pajak tidaklah wajar. Kelompok usaha ini mempersoalkan keabsahan penyidikan yang tak termasuk dalam wilayah penanganan praperadilan.
Karena pengadilan tak bisa menolak perkara, gugatan ini pun tetap diproses. Tapi sungguh aneh jika kelak pengadilan mengabulkannya.
Perkara ini berawal dari ditemukannya tunggakan pajak sebesar Rp 2,1 triliun dari tiga perusahaan tambang batu bara Grup Bakrie pada 2007. Salah satu perusahaan itu, yakni PT Kaltim Prima Coal, mengemplang pajak Rp 1,5 triliun. Adapun dua perusahaan lainnya, PT Arutmin Indonesia dan PT Bumi Resources, masing-masing menunggak sekitar Rp 300 miliar. Setengah dari kewajiban itu sudah dibayar oleh KPC.
Arutmin bahkan telah melunasi hampir seluruhnya.
Masalahnya, kasus tak berhenti sampai di situ. Direktorat Intelijen dan Penyidikan Pajak telanjur membawa kasus KPC dan Bumi ke ranah pidana sejak akhir Maret tahun lalu. Sedangkan Arutmin baru dalam tahap pemeriksaan awal. Ketiganya diindikasikan tak melaporkan surat pemberitahuan tahunan pembayaran pajak secara benar.
Berdasarkan Undang-Undang Pajak, penyelesaian kasus pidana hanya bisa dilakukan lewat dua cara.
Pertama, penyelesaian di luar jalur pengadilan jika wajib pajak bersedia membayar denda empat kali lipat plus utang pokoknya. Kedua, lewat sidang di pengadilan dengan ancaman hukuman kurungan paling lama enam tahun plus denda maksimal empat kali lipat.
Dua pilihan itu tak ada yang menyenangkan bagi Grup Bakrie. Keduanya mengharuskan ketiga perusahaan membayar denda lebih dari Rp 10 triliun. Bisa dipahami kalau Bakrie melakukan perlawanan keras agar kasusnya diselesaikan lewat jalur administratif. Maklum, dendanya cuma 2 persen per bulan untuk jangka waktu maksimal dua tahun.
Peluang inilah yang kini dibidik Bakrie lewat gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada pertengahan Januari lalu.Yang dipersoalkan adalah keabsahan proses penyidikan oleh tim Pajak, yang sesungguhnya tidak masuk ranah praperadilan. Dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jelas diatur bahwa pengadilan hanya berwenang menangani dan memutuskan perkara menyangkut sah-tidaknya penangkapan, penahanan, serta penghentian penyidikan dan penuntutan.
Jika hakim benar-benar berpegang pada aturan itu, jelas ia akan menolak mentah-mentah gugatan Bakrie.
Masalahnya, integritas dan kualitas hakim sering diragukan. Kemenangan Asian Agri dalam gugatan praperadilan di pengadilan yang sama, satu setengah tahun yang lalu, merupakan pelajaran pahit bagi pemerintah. Saat itu hakim memutuskan bahwa penyitaan sekitar seribu dokumen yang disembunyikan Asian Agri di kawasan Duta Merlin, Jakarta, oleh aparat pajak tidak sah. Buntutnya, pelimpahan berkas perkara dugaan penyelewengan pajak Rp 1,4 triliun oleh perusahaan perkebunan sawit milik Sukanto Tanoto itu pun terganjal.
Agar putusan serupa tak terulang, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Yudisial harus memantau kasus pajak Bakrie sejak dini. Mereka perlu bertindak jika terjadi permainan di luar sidang yang membuat hakim mengeluarkan vonis yang ganjil.
Sumber: korantempo.com
TAJUK RENCANA
Menegakkan Hukum Progresif
Sungguh malang empat pencuri randu senilai Rp 12.000 di Batang yang dihukum 24 hari. Hukum bisa galak kepada orang miskin, tetapi tidak kepada yang berduit.
Bukan sekali ini kita saksikan hukum tak berpihak kepada yang miskin. Keadilan hukum tidak ketemu dengan rasa keadilan individu dan masyarakat. Keempat pencuri randu seharusnya langsung bebas karena sudah ditahan mulai dari tanggal 2 sampai 26 November.
Namun, palu hakim diketukkan tanpa ampun. Tidak ada keberanian hakim menafsirkan, misalnya, mempertimbangkan latar belakang terdakwa, mereka divonis pantas dihukum.
Rasa keadilan terusik ketika dikaitkan keengganan atau sebaliknya superaktifnya hakim, jaksa, dan pengacara. Saat menangani perkara kecil—karena status sosial terdakwa ataupun bobot kasusnya—pasal hukum diterapkan rigid. Ketika menangani perkara besar, segala jurus dimainkan, apalagi dikaitkan keterlibatan makelar perkara.
Kesempatan rakyat kecil-miskin mendapat keadilan amat sempit. Sebaliknya mereka yang berduit, berkedudukan, dan punya koneksi luas, punya akses lebih longgar. Bukan praksis pengadilan semacam itu yang kita kembangkan. Kita berpedoman bahwa di hadapan hukum semua orang berkedudukan sama.
Demi terciptanya keadilan sebenar-benarnya, teringat warisan obsesi almarhum Prof Satjipto Rahardjo. Ahli sosiologi hukum itu memperkenalkan istilah hukum progresif ke mana-mana. Ada hasil, di antaranya Bismar Siregar, Andi Andojo Sutjipto, Benyamin Mangkoedilaga—tiga nama yang pernah diapresiasi dalam beberapa perkara berani membuat keputusan keluar dari pakem.
Penegakan hukum menuntut kerja keras, hati, pikiran, dan keberanian menguji batas kemampuan hukum. Jaksa dan hakim aparat utama yang perlu secara progresif berani menguji batas kemampuan UU. Keadilan atas teks atau pasal hukum tak otomatis seiring dengan rasa keadilan.
Selain hakim dan jaksa dituntut kreatif keluar dari rutinitas hukum, tak kalah penting para pengacara. Jika hati nurani ketiga aparat penegakan hukum itu tumpul, tak punya nurani terhadap keadilan yang sebenar-benarnya, tertutup sudah lembaga pengadilan sebagai tempat mencari keadilan.
Kasus 14 pencuri buah randu bukan kasus pertama dan sudah pasti bukan yang terakhir. Koruptor yang kasatmata bisa lepas dari hukuman karena kreativitas para penegak hukum, mengapa tak diusahakan penegakan hukum progresif untuk kelompok masyarakat kecil-miskin?
Sengaja catatan ini ditutup dengan pertanyaan. Sebab, ketika sebuah kasus kejahatan dimejahijaukan, 1.001 kemungkinan terbuka. Sebab, tidak ada keberanian dan kemauan melakukan rule of breaking. Atau karena sebaliknya, kelewat superaktif atas nama berbagai kepentingan seperti yang riuh dibicarakan masih adanya jual-beli perkara.
Tantangan Anwar Ibrahim
Berbagai kalangan dibuat masygul ketika pemimpin oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, kembali dibawa ke meja pengadilan atas dugaan sodomi.
Tidak sedikit yang bergumam, tantangan yang dihadapi Anwar seperti tidak habis-habisnya. Karier politik tokoh yang kini berusia 62 itu sempat melesat tinggi ibarat meteor, tetapi tiba-tiba terempas.
Anwar sempat disebut-sebut sebagai calon pengganti kepemimpinan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Namun, semuanya berbalik arah pada 1998 ketika Mahathir di luar dugaan memecat Anwar yang ketika itu menduduki jabatan Wakil PM merangkap menteri keuangan.
Tokoh yang semula bersinar terang dan menjadi orang kepercayaan Mahathir itu tidak hanya kehilangan jabatan, tetapi juga dijebloskan ke dalam penjara. Proses hukum terhadap Anwar berlangsung kasar. Petugas polisi memukul Anwar sampai saraf batang leher dan tulang belakangnya terganggu.
Anwar pada 1999 dijatuhi hukuman enam tahun penjara atas tuduhan sodomi dan korupsi. Tuduhan itu dibantah keras Anwar sebagai konspirasi politik untuk menggusurnya dari panggung politik. Jalan Anwar ke panggung politik kembali terbuka pada 2004 ketika Mahkamah Agung Malaysia menetapkan, tuduhan sodomi dan korupsi terhadap tokoh oposisi itu tidak benar.
Namun, sekitar lima tahun setelah berkiprah lagi di panggung politik sebagai pemimpin oposisi, Anwar kembali dituduh melakukan sodomi pada 2009. Proses pengadilannya ditunda-tunda sampai dibuka kembali pekan ini. Tuduhan sodomi benar-benar menjadi jeratan berat dan sekaligus memalukan. Namun, tidak kalah menariknya bagaimana Anwar berusaha bertahan di panggung politik yang sangat keras dan kasar itu. Anwar dan para pengikutnya berkeyakinan, tuduhan sodomi ini merupakan bagian dari konspirasi politik tingkat tinggi untuk menghadangnya dari peluang untuk maju ke pusat kekuasaan.
Secara terbuka Anwar menuduh PM Najib Razak dan istrinya, Ny Rosmah Mansor, berada di balik tuduhan sodomi. Menurut Anwar, ada bukti kuat Najib dan istrinya sebagai dalang tuduhan sodomi. Anwar menekankan, tuduhan sodomi merupakan rekayasa Najib dan koalisi Barisan Nasional pimpinan Organisasi Nasional Melayu Bersatu, yang terpukul oleh kehilangan banyak kursi parlemen dalam pemilu Maret 2008. PM Najib membantah tuduhan Anwar.
Tak terhindarkan, pengadilan Anwar menimbulkan tafsiran tentang kemungkinan beraroma politik. Belum segera diketahui apa hasil proses pengadilan terhadap Anwar, yang diancam hukuman 20 tahun penjara itu. Namun, segera terasa perjuangan politik pemimpin oposisi itu bakal kandas jika sampai dijebloskan lagi ke dalam penjara sebagai hasil proses pengadilan yang adil ataupun bukan.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/04/03110418/tajuk.rencana
TAJUK
Memanfaatkan Obama
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Barack Obama dipastikan akan melakukan kunjungan ke Indonesia pada Maret depan.Kedatangan presiden ke-44 negara adi daya tersebut bukan sekadar agenda kenegaraan biasa seperti yang dilakukan presiden-presiden sebelumnya.
Aspek emosional dan sentimental dipastikan akan lebih banyak mewarnai rangkaian agenda selama di Indonesia. Presiden Paman Sam pertama yang berasal dari kalangan kulit hitam ini sudah memastikan akan mengajak istri,Michelle,serta kedua putrinya, Malia dan Sasha.Obama ingin menapak tilas perjalanan hidupnya sekaligus menunjukkan kepada keluarganya bahwa dia pernah tinggal, menikmati masa kecilnya,serta menempuh pendidikan dasar di Indonesia.
Sebuah perasaan manusiawi yang dirasakan siapa pun tak terkecuali orang nomor satu di AS. Empat tahun (1967-1971) bukanlah waktu yang pendek bagi Obama untuk meresapi nikmatnya makanan,keanekaragaman permainan tradisional, serta aneka budaya Indonesia.Dia juga pasti banyak mendapat kesan saat berkesempatan belajar dan bergaul waktu bersekolah SDN 1 Menteng dan SD Santo Fransiscus Asisi.
Obama juga pasti akan menceritakan kepada dua putrinya bahwa di negeri inilah ibunya,Stanley Ann Dunham,menghabiskan sebagian besar kariernya, dan ayah tirinya,Lolo Soetoro, banyak memberinya pelajaran akan kerasnya kehidupan sesungguhnya. Di negeri ini pulalah, bibi mereka,Maya Soetoro,dilahirkan. Dengan latar historis dan ikatan kekeluargaan yang demikian kuat, bisa dipastikan kunjungan ke Indonesia akan sangat spesial dibanding ke negara lain.
Presiden dari Partai Demokrat ini bukan sekadar akan membawa agenda kenegaraan,melainkan juga agenda pribadi. Indonesia tentu sepatunya menyambut baik kunjungan Obama,bukan sekadar sebagai pemimpin negara sahabat,melainkan sebagai orang yang ingin bernostalgia. Sangat mungkin Obama akan berkunjung ke SDN 1 Menteng untuk bertemu teman kecilnya atau tiba-tiba dia akan memanfaatkan waktunya untuk mendatangi bekas rumahnya di kawasan Menteng Dalam, Jakarta.
Dengan demikian, aparat keamanan harus bekerja ekstrakeras untuk memastikan kondisi keamanan. Namun, lebih penting dari itu, pemerintah juga harus memanfaatkan nilai tambah Obama untuk kepentingan (interest) Indonesia.Kedatangan Presiden AS yang kebetulan ”berbau” Indonesia harus dapat dimanfaatkan untuk merekonstruksi format hubungan kedua negara. Harus diakui, hubungan bilateral Indonesia-AS saat ini masih belum lepas dari kerangka feodal yang menempatkan Indonesia sebagai veri-veri dan AS sebagai center-nya.
Posisi asimetri ini sangat dirasakan ketika hubungan kedua negara dihadapkan pada suatu persoalan krisis seperti isu demokrasi,HAM,dan Timor Timur. Pada isu krusial itu, AS yang sebelumnya menunjukkan wajahnya sebagai sahabat, dengan mudahnya menunjukkan sikap aslinya, dengan mendikte dan memojokkan Indonesia.Rakyat Indonesia tentu masih ingat betapa bangsa ini menjadi sangat lemah karena sebagian besar pesawat F- 16 dan Hercules yang dimiliki TNI tidak bisa terbang akibat embargo AS pascakerusuhan Timor Timur.
Memang bukan hal mudah untuk bisa membangun relasi simetris dengan AS.Dalam sejarah politik negeri ini,walaupun tidak bisa dibuktikan sepenuhnya, keberanian pemimpin Indonesia untuk merenegosiasikan hubungan dengan AS membawa risiko yang tidak ringan. Kendati demikian, hal tersebut tidak boleh menjadi trauma dalam memandang hubungan kedua negara ke depan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat ini memegang mandat rakyat harus mampu menunjukkan kepada AS bahwa Indonesia adalah negara besar yang mempunyai sikap,bermartabat,dan mampu berdiri sejajar dengan negara mana pun.
Posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar keempat,penganut demokrasi terbesar ketiga,negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, posisi sebagai anggota G-20 harus menjadi modal diplomasi dan negosiasi pemerintah dengan Obama dalam kemitraan komprehensif yang akan diluncurkan kedua negara nanti.
Dengan demikian,muara kerja sama nanti bukan hanya untuk memperluas dan memperkuat kerja sama kedua negara,melainkan terbangunnya hubungan simetri yang didasarkan pada sikap saling menghargai dan menghormati.(*)
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/302187/
PERSPEKTIF
Komunikasi Macet
Dalam demokrasi, unjuk rasa atau demonstrasi adalah sebuah bentuk komunikasi politik. Aksi turun ke jalan merupakan sebuah tindakan biasa untuk menyampaikan pesan, biasanya pesan kepada pemerintah. Inilah salah satu pola komunikasi bottom-up yang lazim dilakukan di banyak negara demokratis.
Rakyat di tingkat akar rumput memiliki peluang yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.
Namun, ada kalanya demonstrasi bergerak keluar dari jalurnya dan kebablasan hingga membuat marah pemerintah.
Demonstrasi yang menjurus pada penghinaan terhadap individu misalnya. Itulah yang terjadi ketika unjuk rasa dalam rangka seratus hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode II beberapa waktu lalu.
Ketika itu, seorang pengunjuk rasa membawa seekor kerbau ke tengah kota. Kerbau itulah yang menjadi masalah.
Sebab, hewan berperut tambun itu dibawa untuk merepresentasikan Yudhoyono. Karena itulah ia gusar, tidak terima dirinya disamakan dengan hewan berbadan besar, malas, dan bodoh. Tentu bukan hanya itu yang membuat Presiden gusar.
Ia merasa terganggu karena demonstrasi dinilainya sudah kebablasan sehingga mengabaikan etika dan budaya bangsa.
Itulah mengapa Presiden merasa perlu meminta kelompok kerja untuk mengaji persoalan etika dan budaya yang hilang tersebut.
Tujuannya bukan untuk memasung demokrasi, melainkan menegakkan reformasi dengan mengusung demokrasi yang bermartabat, demokrasi yang tertib, dan demokrasi yang mendorong kebersamaan serta persatuan. Agaknya, terlalu berle bihan jika Presiden harus bersikap mengenai demonstrasi.
Namun, sampai di sini, kita boleh bersepakat bahwa langkah Presiden itu ada benarnya juga. Sebab, demokrasi yang dijalankan tanpa etika bisa merusak jati diri bangsa, bahkan merusak demokrasi itu sendiri. Kendati demikian, perlu pula diingat bahwa kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat tidak boleh diabaikan.
Kita tentu sependapat bahwa berdemonstrasi tidak boleh dilarang. Masyarakat juga bisa menyampaikannya dalam bentuk apa pun, termasuk hal-hal lucu sekalipun. Tentu itu harus dilakukan dalam koridor yang tertib dan beretika.
Artinya, kita tahu bahwa Presiden adalah kepala negara yang juga menjadi simbol dan representasi negara. Karena itu, sudah selayaknya ia mendapat penghormatan yang layak.
Kerbau dibawa ke jalan semata-mata untuk menarik perhatian dari pemerintah. Hewan itu menjadi media penyampai unek-unek mereka kepada pemerintah karena mereka merasa ada sesuatu yang salah dengan persoalan komunikasi politik.
Ini menunjukkan sebuah alur komunikasi politik yang macet. Karena itu, perlu dibangun sebuah pola komunikasi yang lebih sehat. Yakni, pola komunikasi yang memungkinkan interaksi antara pemerintah dan rakyat.
Dengan cara itu, tidak perlu lagi masyarakat membawa-bawa kerbau atau membakar foto presiden hanya untuk menyampaikan unek-unek kepada pemerintah.
Sumber: http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=44354