Sekadar menelusuri jejak-jejak peradaban

Editorial Surat Kabar, Jumat, 5 Februari 2010

EDITORIAL Koran Tempo:

Membela Bachtiar

Tidaklah pantas membela mati-matian Bachtiar Chamsyah, yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembelaan yang lebih bersifat politis ketimbang yuridis justru akan terkesan kurang menghargai lembaga penegak hukum. Dukungan berlebihan terhadap tokoh dari Partai Persatuan Pembangunan ini bahkan bisa dianggap menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi.

Reaksi itu muncul setelah Bachtiar dijerat kasus pengadaan sapi impor dan mesin jahit. Ia diduga memperkaya diri sendiri dan orang lain lewat proyek yang berada di bawah tanggung jawabnya ketika masih menjabat Menteri Sosial. Pengadaan mesin jahit itu berlangsung pada 2004. Adapun pembelian sapi impor yang diduga fiktif terjadi pada 2006. Akibat penyelewengan ini, negara diperkirakan rugi Rp 27,6 miliar.
Kalangan Partai Persatuan Pembangunan mencurigai adanya politisasi kasus ini. Begitu pula sikap Persaudaraan Muslim Indonesia (Parmusi)--salah satu sayap organisasi PPP--yang dipimpin oleh Bachtiar. Karena menganggap pemimpinnya diperlakukan tak adil, Parmusi bahkan mendesak PPP untuk keluar dari koalisi penyokong pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.

Sikap seperti itu aneh karena mengasumsikan KPK berada di bawah kendali Presiden Yudhoyono. Padahal, sesuai dengan undang-undang, lembaga ini bersifat independen. Sejauh ini masyarakat juga menilai KPK cukup serius memberantas korupsi dan tidak sembarangan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Artinya, selama ini KPK hanya menjerat pelaku korupsi jika memang ditemukan bukti-bukti yang kuat.

Kendati begitu, harus diakui pula ada kejanggalan dalam kasus Bachtiar Chamsyah. Kasus ini sebetulnya sudah lama diendus oleh KPK, tapi baru sekarang ia ditetapkan sebagai tersangka. Biasanya pula lembaga ini selalu mengusut kasus korupsi mulai dari "pinggir" kemudian baru ke "tengah"seperti orang menikmati bubur panas. Namun kali ini memang agak lain. Bachtiar dijerat dulu, sementara pelaku lain, seperti rekanan proyek, belum dijadikan tersangka. Toh, kejanggalan ini tidaklah bisa menjadi dasar untuk terlalu mencurigai KPK dan membela Bachtiar bahwa ia tak layak dijerat.

Penyidik KPK boleh saja menangani kasus dengan teknik berbeda-beda. Dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran, misalnya, mereka memang menjerat lebih dulu rekanan proyek, pejabat daerah, dan pejabat eselon satu Kementerian Dalam Negeri. Sementara bekas Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno hingga sekarang belum jadi tersangka kendati ada indikasi kuat ia terlibat.

Tapi kasus Hari Sabarno tetap tak bisa dijadikan dalih bahwa Bachtiar telah mendapat perlakuan tak adil. Sebab, petinggi KPK jelas menyatakan kasus ini belum selesai. Artinya, bisa saja suatu saat Hari dijadikan tersangka.

Masyarakat, termasuk kalangan partai politik, seharusnya menyokong pemberantasan korupsi oleh KPK. Membela tersangka korupsi dengan alasan yang tak masuk akal hanya akan menghambat upaya membebaskan negara dari kejahatan keji ini.

Tajuk Rencana Kompas:

Pesan dari Cipanas

Di tengah berbagai persoalan dan kemelut yang mendera bangsa kita akhir-akhir ini, program pembangunan ekonomi harus tetap berjalan.

Demikian antara lain satu pesan kuat yang kita tangkap dari pelaksanaan rapat kerja dua hari pemerintah di Cipanas, yang dimaksudkan untuk membahas pencapaian program 100 hari dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pekan ini.

Ada enam kelompok kerja dibentuk untuk membahas enam isu yang dianggap paling krusial. Dari hasil raker, Presiden akan menerbitkan inpres baru untuk pelaksanaannya, diikuti raker lanjutan untuk mengevaluasi implementasinya di lapangan. Di tengah hiruk-pikuk kasus Century, lewat raker yang menghadirkan seluruh jajaran menteri, gubernur, BUMN/BUMD, pemerintah seolah ingin menegaskan pihaknya tetap berkomitmen pada program-program yang sudah digariskan di RPJMN.

Tentu jadi harapan kita semua, semua ini tak hanya berhenti di tataran raker dan inpres. Dari yang kita tangkap, salah satu semangat dalam raker ini adalah mencari terobosan terhadap kebuntuan dalam program pembangunan yang ada selama ini. Kehadiran para gubernur terasa penting karena mereka ujung tombak pelaksanaan program nasional dan pembangunan di daerah. Banyak program di tingkat nasional berhenti di tataran program karena tak ada sinkronisasi dan sinergi dengan pengendali kebijakan di daerah.

Hal serupa terjadi pada program 100 hari. Ada capaian, tetapi banyak juga persoalan mendasar yang belum tertangani. Keteteran di Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN, masih karut-marutnya infrastruktur dan penegakan hukum, hanya beberapa contoh. Ke depan kita dituntut bekerja lebih keras dan berlari lebih cepat karena kita sudah kehilangan banyak waktu. Dan jadi tugas pemerintah untuk terus bereksperimen mencari terobosan agar program pembangunan bisa ter-deliver ke masyarakat secara lebih efektif dan tepat sasaran.

Selama ini, ada kecenderungan pemerintah membentuk lembaga baru atau menerbitkan instrumen kebijakan baru untuk menerobos kebuntuan dari program yang ada sebelumnya. Padahal, ini lebih sering tidak efektif jika tanpa dibarengi upaya memperkuat implementasi di lapangan. Yang ada justru memperpanjang rantai birokrasi.

Karena itu, salah satu tantangan terbesar ke depan masih reformasi birokrasi dan membangun kepemimpinan yang tegas untuk mengawal program sampai pada implementasi. Tanpa itu, RPJMN atau berapa pun instruksi presiden dikeluarkan, hanya akan jadi macan kertas, dan raker yang menghadirkan begitu banyak pejabat pusat dan daerah hanya akan jadi proyek buang-buang uang dan waktu.

Sudah waktunya pula pemimpin berbicara dengan bahasa sama dan lebih mendengar keluhan yang dihadapi rakyat. Dengan begitu, ke depan tak ada lagi kesenjangan lebar antara apa yang diklaim sebagai keberhasilan pemerintah dengan apa yang dirasakan rakyat di lapangan.

Deklarasi Uni Afrika

Pertemuan 53 negara anggota Uni Afrika pekan ini di Addis Ababa, ibu kota Etiopia, ditutup dengan deklarasi yang menolak kudeta dan perang.

Deklarasi dinilai sebagai terobosan penting dalam pertemuan tiga hari Uni Afrika yang berakhir Selasa lalu. Para pemimpin Uni Afrika berusaha menjawab tantangan riil Benua Afrika yang sering diguncang kudeta dan perang.

Namun, masih menjadi pertanyaan, sejauh mana deklarasi berdampak terhadap kehidupan sosial politik dan perilaku elite di negara-negara Benua Afrika. Meski pengaruh konkretnya masih dipertanyakan, deklarasi pada pertemuan Addis Ababa merupakan sebuah kemajuan besar bagi para pemimpin Uni Afrika yang suka berselisih.

Sejauh ini Uni Afrika yang didirikan tahun 1963 termasuk sulit menghasilkan kesepakatan karena para pemimpin mengutamakan kepentingan diri dan kurang memiliki komitmen perdamaian dan demokrasi bagi kawasan. Apalagi banyak pemimpin Afrika meraih kekuasaan melalui kudeta, termasuk yang berdarah, dan perang.

Tidak sedikit pemimpin memerintah secara otoriter dan diktator. Banyak pula pemimpin yang mengobarkan perang untuk mematahkan kekuatan oposisi yang bergerilya. Impian menciptakan Afrika yang stabil, damai, dan demokratis memang sangat sulit. Kekacauan bidang politik berjalan paralel dengan krisis ekonomi. Daya dukung lingkungan cenderung melemah oleh penghancuran ekologi yang luar biasa.

Citra buruk itu diperparah lagi oleh masalah kelaparan dan penyakit. Benua Afrika seakan tenggelam dan menghilang di bawah tumpukan persoalan sehingga dijuluki sebagai benua yang hilang, the lost continent.

Tentu menjadi pertanyaan, mengapa para pemimpin Uni Afrika tiba-tiba berubah pikiran dan menyatakan komitmen bersama melawan kudeta dan menghentikan perang. Perubahan di Benua Afrika tampaknya tidak terlepas dari arus besar perubahan yang sedang menerjang dunia. Sejak tahun 2002, angin perubahan global mendorong Uni Afrika bekerja lebih erat dalam bidang politik.

Faktor lain tentu saja para pemimpin Afrika ditantang oleh kenyataan agar segera melakukan terobosan jika tidak ingin menghadapi petaka lebih besar. Kehancuran Benua Afrika akan memburuk jika ancaman perang, konflik, krisis ekonomi, dan kehancuran ekologi terus dibiarkan. Selama ini Uni Afrika sering dikritik karena dinilai tidak mampu menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasannya.

Pertemuan Addis Ababa sudah melakukan terobosan dengan menentang kudeta, menolak perang, sekaligus membicarakan demokrasi, hak asasi, dan pembangunan. Keinginan itu tentu saja perlu diperkuat dengan tindakan nyata jika benar-benar ingin mengubah citra Benua Afrika, yang sering diasosiasikan dengan perang, kudeta, konflik rasial, kelaparan, penyakit, dan kehancuran ekologi.

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/05/04044810/tajuk.rencana


EDITORIAL Media Indonesia:

Salah Urus Gas Domestik

KEPUTUSAN yang ditunggu-tunggu publik itu akhirnya datang juga. Melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3 Tahun 2010, pemerintah mengeluarkan aturan mengenai alokasi dan pemanfaatan gas bagi kebutuhan di dalam negeri.

Namun, sayang seribu kali sayang, alokasi gas dalam negeri itu diprioritaskan untuk memacu produksi minyak dan gas bumi nasional. Padahal, kebutuhan mendesak akan pasokan gas di dalam negeri bukan di industri migas, melainkan ada pada industri pupuk, listrik, keramik, dan sejumlah industri yang erat kaitannya dengan kebutuhan publik.

Industri-industri itulah yang selama ini nyaris sekarat karena kekurangan gas. Pabrik pupuk, misalnya, hampir tiap tahun didera keluhan klasik minimnya pasokan gas karena produksi gas domestik sebagian besar diekspor.

Akibatnya pun juga klasik, yakni pupuk langka dan harganya terus melonjak. Korbannya siapa lagi kalau bukan petani yang sudah terengah-engah oleh mahalnya ongkos produksi pertanian.

Setali tiga uang dengan pabrik pupuk, krisis energi yang berbuntut pada pemadaman listrik antara lain merupakan akibat langsung dari mengalirnya produk gas ke luar negeri. Listrik biarpet yang terjadi tiap tahun, menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah bagi industri.

Sebaliknya industri migas selama ini belum pada tahap mendesak untuk dipasok gas. Para ahli energi menyebut industri migas kita masih bisa menggunakan gas CO2 sebagai bahan bakar untuk berproduksi.
Padahal, negeri ini memiliki cadangan gas yang masih terbilang melimpah. Total cadangan gas bumi kita masih lebih dari 180 triliun kaki kubik (tcf), jauh di atas kebutuhan gas domestik dan ekspor yang mencapai sekitar 3 triliun kaki kubik per tahun. Cadangan gas kita dapat diproduksi dalam jangka waktu 64 tahun.
Namun, lebih dari 60% produksi gas kita diekspor dengan perjanjian jangka panjang. Akibatnya, kita kini kelimpungan kekurangan gas di lumbung energi.

Di tengah kekurangan itu, harapan sempat terpancar ketika pemerintah menyetop ekspor gas yang sudah jatuh tempo. Tapi, publik kembali masygul karena alokasi domestik itu disalurkan ke keran yang salah.
Dengan memprioritaskan gas domestik untuk industri migas, sama artinya dengan mengisi kantong baju untuk kekosongan di kantong celana.

Kebijakan itu sekaligus juga menunjukkan masih kentalnya ego sektoral. Ada semacam pembenaran bahwa pemerintah boleh menggunakan gas hanya untuk kepentingan di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Berkali-kali melalui forum ini kita mengingatkan agar pemangku kebijakan tepat dalam mendiagnosis persoalan. Jangan sampai orang sakit flu diberi obat mata. Akibatnya, demam tidak sembuh, tubuh keracunan.

Pemerintah rupanya tidak juga sadar bahwa daya kompetisi industri Indonesia dalam pertarungan pasar global sangat ditentukan oleh ketangguhan industri di dalam negeri.

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2010/02/05/121318/70/13/Salah-Urus-Gas-Domestik
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Cara Seo Blogger